Malam-malam
di gumuk pasir selalu sama; ada bunyi desiran halus pasir pantai disertai
gumaman lembut dari bibir Wening yang muncul di bawah sinar bulan. Ia melagukan
kesunyian tak berjeda.
Gadis yatim piatu itu berdiri di tepi bukit. Sepi
menderanya. Angin laut selatan meniup-niup pasir, meramu bentuk yang baru.
***
Emak
bilang, jangan suka terlalu memikirkan masalah.
“Nanti
stres kayak Wening, Ndhuk[1],”
kata Emak.
Aku
diam saja. Emak tidak tahu apa yang terjadi pada Wening. Pun dengan dua pertiga
warga desa. Sisanya tahu, tapi tutup mulut. Terlalu takut dengan para penjahat
yang mereka sebut pejabat. Barangkali segepok uang sudah masuk ke kantong
mereka. Atau mungkin, sederet ancaman mematikan telah mereka terima. Aku tidak
tahu.
Wening
anak tunggal dari pasangan petani di desaku. Rumah mereka di pertigaan jalan,
persis di depan rumah Kepala Desa. Keluarga mereka baik-baik saja, meskipun
hidup amat sederhana. Dengan senyum berlesung pipit yang selalu menghias wajah
Wening, siapapun akan paham bahwa hidupnya bahagia.
Wening
pertama kali bersikap aneh setelah ia sehari tidak masuk sekolah. Dengan wajah
pucat dan penampilan yang tidak serapi biasanya, kupikir dia sakit. Tetapi dia
justru mengatakan hal lain setelah menarikku ke tempat sepi di belakang
sekolah.
“Bapak
melihatnya. Bapak melihatnya,” ujarnya terisak. “Bapak melihat apa yang
dilakukan orang-orang itu.”
Tangisan
mendera Wening.
***
Orang
tua Wening amat mendukung nilai-nilai kebenaran. Pekerjaan sebagai petani tak
sekalipun menyurutkan penopang norma-norma yang mereka punya.
Aku
mencuri dengar fakta mengejutkan dari percakapan penuh bisikan di warung dua
hari lalu. Hari itu, ternyata Bapak Wening menjadi saksi penting.
“Berikan
bukti-bukti itu padaku. Aku akan menghidupimu dengan lebih baik. Anak-anakmu
sedang butuh biaya, bukan? Dari mana kau dapat uang setelah tanahmu berdagang
ludes dilalap api?”
Bapak
Wening menyurutkan niatnya mengetuk pintu. Tadinya, ia hanya berniat mencari
tahu tindak lanjut soal rencana Pak Kades untuk memberikan bibit unggul pada
warganya. Kini, niat itu meluruh, tergantikan dengan rasa ingin tahu yang
berbahaya.
“Kenapa
kau diam saja? Jawab aku, Iman!”
Bapak
Wening tak mengenal nama yang diserukan Pak Kades itu.
“Apapun
suapan yang Bapak berikan pada saya, lebih baik saya mati daripada saya
menerimanya.”
Ada
geraman marah yang tertahan, disusul debuman keras pada meja. “Kalau bukti itu
sampai ke tangan polisi, kau memang akan mati.”
“Tidak
masalah. Yang terpenting, uang rakyat tidak masuk ke kantung orang busuk
seperti Bapak. Hal seperti itu tak akan terjadi lagi karena saya akan
melaporkan Anda,” suara itu terdengar tenang.
“Kau
benar-benar membuatku marah! Kalau kau memang mau mati, kuturuti maumu!”
Suara
perkelahian terdengar dari dalam. Bapak Wening tahu, sosok yang dipanggil Iman
sedari tadi mengaduh terkena pukulan. Pasti
ada beberapa orang di dalam, pikirnya. Keributan tak kentara itu terdengar
oleh telinga Bapak Wening, sebelum keheningan menaungi malam. Meskipun bunyinya
teredam, ada aroma mesiu yang tercium oleh hidung Bapak Wening yang tajam sebab
ia bertahun-tahun dibesarkan oleh pemburu.
Tidak
perlu banyak waktu untuk mengerti apa yang terjadi.
***
Dua
hari setelahnya, Wening tidak dapat menemukan orang tuanya di manapun.
Biasanya, saat Wening pulang dari sekolah, emaknya akan menyambutnya dengan
seulas senyum hangat lalu mengajaknya makan. Kemudian, sore harinya, bapaknya
akan datang. Meskipun berbusa peluh, tak ada keluh dari bapak.
Namun,
hingga purnama menampakkan dirinya di sela-sela gumpalan awan, kedua orang
tuanya tak kunjung pulang. Gundah dan resah mengetuk hati Wening. Apakah
gerangan yang terjadi?
Orang
bilang, orang tua Wening pergi meninggalkan putrinya karena lelah dengan
kehidupan mereka. Biaya untuk makan saja sulit, ditambah prestasi sekolah
Wening yang tak menyenangkan, mau jadi apa mereka? Menyulitkan hidup saja,
katanya.
Buta
hati tiap orang rupanya. Mereka menelan mentah-mentah bualan dari orang lain,
serupa keledai dungu. Mana mungkin orang tua Wening seperti itu?
Pada
tembok luar mereka percaya, tanpa melongok ke baliknya. Wening sebetulnya
pandai, kalau saja dia tidak disibukkan bekerja membantu orang tuanya setiap
saat. Wening punya bakat, meskipun itu bukan pada pelajaran di sekolah. Aku
tahu, Wening amat berminat pada kerajinan dan seni. Anak itu gesit, cekatan,
dan kreatif. Ia pandai menyulap barang-barang bekas menjadi benda lain yang
punya manfaat. Ia pun pintar melukis.
Orang-orang itu,
yang entah bagaimana upayanya menyembunyikan orang tua Wening, seolah tak gamang
dan malu.
“Sebisa mungkin, saya akan membantu Wening.
Setelah dia lulus SMA, dia bisa ikut pelatihan kerja.”
Cerutu bermandikan kepulan asap ada di tangan
kirinya. Raut mukanya tampak sungguh-sungguh. Tapi mata tak kuasa berdusta;
tiada iba sedikitpun.
Di kanan kiri pejabat itu, dua lelaki
berbadan besar mengawalnya. Lengan mereka kekar, ada tato yang menyembul dari
leher mereka. Berpenampilan necis dan bersepatu gilap, seharusnya mereka
benar-benar tulus pada kami. Seharusnya.
***
“Adakah
arti kehidupan ini jika tiang penyangga kehidupanku sudah melebur?” bisik
Wening.
Aku
tak tahu jawabannya. Aku hanya mengerti bahwa semakin meluntur pupur di wajah
Wening, maka lengkungan pada bibirnya akan kian redup.
Biasanya,
menjelang purnama begini, Wening sudah mulai melagukan Padhang Bulan, lagu semasa anak-anak yang kembali diajarkan
pada pelajaran kesenian kami setahun lalu. Sejak itu, Wening jadi sering
menggumamkan lagu ini.
Padhang
mbulan padhangé kaya rina
Rembulane kang ngawé-awé
Ngélikake aja turu soré-soré
Rembulane kang ngawé-awé
Ngélikake aja turu soré-soré
Katanya,
lagu ini mengingatkannya untuk tak lupa bersyukur atas keindahan alam ini.
Sekarang,
senandung lagu Padhang Bulan tak terdengar lagi. Malam-malam kian menjadi sepi.
Kala langit senja tergantikan petang, Wening akan keluar dari rumahnya dan
melangkah menuju gumuk pasir tanpa memedulikan angin laut yang berbahaya. Di
atas padang pasir seluas tak kurang dari lima belas kilometer, di antara sapuan
pasir dan deretan perdu, ia meramu sendu.
“Menyepi
di sana membuatku tenang,” katanya.
***
Sejak
kemarin, aku tidak dapat menemukan Wening.
Lalu,
di bawah purnama malam ini, aku melihat orang-orang itu keluar dari rumah
Wening. Lagak mereka mencurigakan. Kuikuti mereka hingga ke gudang kayu tua yang
jauh dari perkampungan. Lampu-lampu tak dinyalakan sepenuhnya, menjadikan
keremangan timbul di sudut itu.
Orang-orang
itu masuk ke dalam. Hanya terdengar suara obrolan pelan dari bangunan itu. Aku maju,
mengintip ke dalam. Bau-bau aneh mulai tercium. Sekejap, tanpa aba-aba, gemuruh
yang ganjil melingkupiku.
Aku
mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Di sana, Wening duduk tanpa daya. Pakaiannya
kusut dan kotor. Rambut panjangnya yang biasanya tergerai lurus, kini tak
keruan. Kedua kakinya dipasung. Matanya terbuka, namun tatapan itu tiada nyawa.
Tubuhku
menggigil hebat. Tanganku mengepal kuat. Kakiku perlahan mundur, tak sengaja
menginjak patahan ranting.
Orang-orang
di dalam mulai bergerak.
Sedetik
kemudian, aku sudah mulai berlari. Keringat dingin perlahan melumuriku. Bagaimanapun
juga, aku percaya Sang Penguasa tak akan tinggal diam.
[1]
Panggilan untuk anak gadis
*) Cerpen
untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia semester 3 lalu
(foto: nationalgeographic.co.id)
0 comments:
Post a Comment