“Kelas berapa?”
“Kelas 12, Pak.”
“Wah, mau lulus, dong. Mau ambil jurusan apa?”
“Hehe iya, Pak. Ambil Sastra Inggris.”
“Sastra Inggris, ya ... Hmm ... Gimana, ya. Kalau Sastra tuh asjadaoqwulxxxyyyzzz.”
Duh. Kalau percakapan udah mulai menjurus ke nada “meremehkan”
jurusanku ini, aku pasti langsung menyudahi percakapan dan melipir pergi. Males
banget.
Di postingan sebelumnya, aku sudah menjelaskan kenapa aku memilih jurusan Sastra Inggris (baca: Kenapa Sastra Inggris?). Tapi, ya begitulah, nggak hanya sekali dua kali aku mendengar nada meremehkan
tentang jurusan Sastra Inggris. Bahkan, dari salah satu guru SMA-ku pun begitu.
Yah, mau gimana lagi... Anak IPA “banget” kok malah pilih Soshum. Sastra pula.
But, hei, everyone has
right to choose what they want. Ini nggak seperti “malas mendengarkan
pendapat orang lain”. No.
Dalam memilih jurusan, aku yakin, sebetulnya setiap orang
memiliki pertimbangan dari dalam diri masing-masing. Tapi, kadang, karena
pengaruh pihak lain, bisa jadi pilihan itu malah bergeser. Bagus kalau ternyata
itu memang yang tepat untuknya, tapi gimana kalau justru itu menjadi bumerang?
Kuliah males-malesan, materi nggak masuk ke otak, IP anjlok, nggak dapet ilmu
pula.
Aku pun begitu. Aku punya pertimbangan matang untuk memilih
jurusan ini. Aku juga tahu betul, kelak ketika lulus, alumni Sastra Inggris are like birds. We will be what we choose
to, depends on ourselves, our effort... Iya, soalnya peluang kerjanya luas
banget. Beda kayak DKV misalnya, alumni-nya kebanyakan ya bergerak di bidang
desain—apapun itu bentuk desainnya, entah digital 2D atau animasi 3D sekalian.
Sastra Inggris beda, karena apa yang dipelajari di jurusan ini banyak banget.
Kamu jurusan apa?
Arsitektur.
Arsi itu belajar apa?
Desain bangunan dan semacamnya.
Kamu jurusan apa?
Sastra Inggris.
Sastra Inggris itu belajar apa?
Umm... banyak, sih. Kayak dasar-dasar berbahasa Inggris, sejarah juga ada, teori sastra, teori bahasa, terus ini itu ini itu ... dst.
Percakapan mirip kayak gitu beneran pernah terjadi. Aku
ditanyai oleh tetangga, masih SMP, lalu aku bingung jawab apa. Serius. Karena
Sastra Inggris nggak melulu belajar soal english
conversation (kamu kira ini kursus?) atau teori sastra di Inggris dan
Amerika. Masih banyak hal lain yang dipelajari.
What I mean is, the
knowlegde that you get from English Department can bring you to ... anywhere. Mau
bawa ilmu yang kamu dapet ke bimbel biar jadi pengajar? Oke. Kakak temenku
dikontrak jadi pengajar di sebuah bimbel prestisius bahkan sebelum diwisuda.
Sastra Inggris juga bisa bawa kamu ke perusahaan internasional yang ada di
Indonesia. Deplu? Oke. Apalagi tour
guide, writer, translator, journalist, lecturer, etc.
Ini bisa jadi kelebihan Sastra Inggris. Tapi, buat kamu-kamu
yang pengin punya masa depan jelas kerjanya apa, masuk ke sekolah kedinasan
aja. Serius, lho.
Jadi, udah diremehin, peluang kerja luas (dan nggak pasti)
gitu kenapa tetep kekeuh sama Sasing?
Because I choose it,
deep, deep down from my own heart. Terus, kenapa aku memilih ini? Yah,
balik lagi aja ke postingan sebelumnya. Intinya, passionku di jurusan ini. Alhamdulillah, orang tua juga nggak ada
masalah. Aku bebas memilih apa yang aku mau.
Daripada dipaksa masuk ke jurusan Z, yang nggak sesuai passion, lebih baik aku masuk ke jurusan
yang betul-betul aku pilih sendiri. Iya, dalam memilih jurusan, tentu aja nggak
masalah kalau meminta pendapat dari orang lain. Sama sekali nggak masalah. Apalagi
dengan orang tua. Wajib itu!
Btw, pendapat yang fair,
ya. Bukannya yang meremehkan suatu dan menjunjung tinggi satu jutusan yang
prestisius~
Kalau sudah memilih yang sesuai passion, ke depannya Insya Allah akan jadi mudah. Kenapa? Karena
nggak ada beban. Jadi, nggak ada perasaan gugup maupun stress. Kuliah lancar.
Ilmunya akan bermanfaat bagi masa depan kelak.
Jadi, sudah siap memilih, wahai adik-adik kelas 12?
(foto: weheartit.com)
0 comments:
Post a Comment