The Lucky One


Aku patah hati. Baru pertama kali ini aku benar-benar menyukai seseorang, tapi aku langsung patah hati.

Aku terkikik pelan membaca tulisan itu. Goresan yang aku buat sendiri lima tahun lalu. Gila, pikirku. Tahu apa aku soal cinta saat itu?

“Ngetawain apa, sih?” Kamu menyela tawaku. 

Aku menggeleng. “Bukan apa-apa.” Dengan gerakan cepat, kumasukkan buku usang yang berisi curahan hatiku dulu. Buku yang lebih tampak seperti catatan biasa, bukan diary.

Kamu tidak berkata lagi. Secangkir kopi hitam di depanmu menarik perhatianmu. Kamu menyesapnya; pelan, tanpa tergesa, seperti rinai gerimis yang tampak dari jendela.

Lalu, ponselmu berdering, menandakan ada pesan masuk. Kamu membaca, tersenyum simpul, kemudian mengetikkan balasan dengan lincah.

“Dari dia?” tanyaku.

Kamu mengangguk. Ada rona kebahagiaan di wajahmu. Rona yang sama semenjak kamu pertama kali bertemu dengannya, lima tahun lalu.

Jatuh cinta pada pandangan pertama, katamu saat itu. Kupikir, itu hanya pikiran konyol dari seorang remaja. Tapi, aku salah. Sejak hari itu, kamu berbeda. Dia mewarnai hidupmu. Dia mengubahmu dari seorang laki-laki cuek yang keras kepala menjadi seseorang yang senang mengalah dan peduli. Dia membuatmu benar-benar jatuh cinta.

She’s special,” gumammu.

She is,” aku menyetujui. 

“Aku betul-betul beruntung bisa mendapatkan perempuan sepertinya.”

Aku tersenyum tipis. Kalian berdua sama-sama beruntung, karena tidak semua cinta dapat bersatu. []

(foto: rebloggy.com)

0 comments:

Post a Comment