[Cerpen] Mikrokosmos


pict: www.balidailyphoto.com

Aku berlari kencang. Cipratan air cokelat yang muncrat kemana-mana tak kuacuhkan. Butiran air hujan yang kali ini besar-besar berebut menuju ke arahku. Dingin. Bertarung dengan jarum-jarum hujan dalam jarak satu kilometer membuat seluruh tubuhku kuyup. Buku-buku jariku memutih. Tulangku terasa beku.
Begitu kakiku melewati pintu, teriakanku memenuhi ruangan. “Aku melakukannya lagi! Sudah kubilang, kan? Aku memahaminya!”
Mas Rama yang berkutat dengan jurnal-jurnalnya mengangkat kepalanya sejenak, menatapku. Alisnya bertaut.
“Tanaman-tanaman itu, Mas! Mereka berbicara padaku!”
Mas Rama menggeleng-geleng tak hirau, lalu menekuri jurnalnya lagi.
Tanpa kupedulikan pengabaian itu, aku terus saja meneriakkan kejadian yang baru saja kualami. Serta sebait kalimat yang dibisikkan meniran padaku.
Di setiap sudut bumi orang-orang terkekeh. Tuhan murka. Kaumku menangis. Semestamu akan luluh lantak.

***
Orang-orang bilang, aku gila.
Mungkin mereka bisa saja menyembunyikan bahwa acap kali mereka membicarakanku, tapi aku tahu betul apa yang mereka perbincangkan.
“Kandani to? Mesakke Nara dadi kaya ngono bar wong tuwane rak ana.”[1]
“Kakehan mikir dadi stress dewe.”[2]
Di lain waktu, aku akan menulikan diriku, ketika beberapa dari mereka sengaja mengatakan isi pikiran mereka keras-keras untuk mencemoohku.
“Saya sudah bilang, kan? Anak itu jadi aneh. Gila! Dia berhadapan dengan rumput tempo hari. Seharian penuh! Dia juga bicara dengan rumput itu. Rumput! Entah di mana otaknya. Saya jadi khawatir dia benar-benar jadi gila.”
Mereka pikir aku mengada-ada saat aku bilang bahwa aku bisa berbicara dengan tanaman-tanaman di bukit belakang sawah. Tanggapan mereka hanya dua hal; menertawakanku atau memandangku dengan tatapan aneh. Mereka tidak memercayaiku.
Tadinya, aku juga tidak mengerti dengan semua ini.
***
Sepeninggal emak dan bapak satu bulan lalu, aku yang mendapat jatah menjaga sawah. Tapi, ketika panen tiba atau aku mesti menyebar pupuk, Mas Rama akan datang membantu. Saat memantau sawah, ketika kurasa sawah betul-betul sepi dan aku yakin tidak ada gangguan bahkan dari burung-burung, aku meluangkan waktu untuk menelusuri bukit.
Kampung kami terletak di lereng bukit. Dulu, seminggu sekali aku diajak bapak menyusuri jalan sepetak di bukit, hingga masuk ke dalam hutan. Mas Rama tak pernah mau ikut. Jadi, hanya ada aku dan bapak. Bapak tahu semuanya, dari rumput liar hingga pepohonan langka sekali pun. Suatu hari bapak akan menjelaskan mengenai Synsepalum dulcificum yang dapat mengubah rasa asam menjadi manis, lalu lain kali bapak menjelaskan tentang Gloeocapsa, salah satu ganggang hijau satu monoseluler yang kami temukan di dekat rawa. Penjelajahan kami akan berhenti saat denai tampak. Bapak boleh jadi ahli flora, tapi beliau tidak tahu menahu soal hewan. Bapak bilang, jejak binatang itu bisa saja binatang buas.
Bapak kujuluki ‘si penguasa bukit’. Aku tidak tahu darimana bapak tahu pengetahuan hebat seperti itu. Karena setahuku, Bapak tidak pernah tamat SMA. Bapak berhenti sekolah kerena tak ada biaya. Waktu aku bertanya, emak bilang bapak suka sekali membaca. Bapak pernah menjaga perpustakaan di kota, dan di sanalah bapak menimba ilmu.
Seiring aku bertambah besar, bapak semakin sibuk. Beliau juga kerap sakit. Bapak tidak mau ketika kuajak lagi ke bukit.
“Bukitmu sudah berubah, Nara,” begitu kata bapak. Hingga akhirnya berangsur-angsur kebiasaan itu berkurang, lalu hilang sama sekali.
Aku baru mengerti apa yang dimaksud bapak. Bukit kampung kami memang sudah berubah. Bukit ini kering. Meranggas. Beberapa area tepi sudah rata dengan tanah, digantikan beton-beton yang mulai menjamuri daerah ini.
Kata Mas Rama, “Kampung kita akan jadi bagian dari kota sebentar lagi.”
Itu tidak terelakkan. Kampung kami yang terletak di perbatasan kota tampaknya sudah dijarah. Warga hijrah ke kota, lalu pulang dan berlomba membangun semen dan bata. Tak ada yang peduli dengan halaman penuh dengan pohon mangga atau bunga berwarna-warna. Tidak pula dengan bukit kami.
Ketika hanya ada aku dan Mas Rama, aku bertekad akan rutin pergi ke bukit. Aku bisa mengingat-ingat apapun tentang bapak dan apa yang ia berikan, lalu aku akan mencari tahu tentang tumbuhan yang tak kukenal. Biasanya aku bersepeda menuju perpustakaan di desa lain.
Suatu hari, aku tak sadar jika aku masuk terlampau dalam. Denai-denai tampak menyebar, kentara di atas rerumputan yang menjarang. Aku meneguk ludah. Pantas hutan ini tampak lebat dan berbeda. Aku baru berbalik beberapa langkah, sebelum aku melihat sesuatu yang hebat.
Dan langka.
Meconopsis grandis,” bisikku tertahan. Si bunga misterius.
Kalau saja bapak tak pernah memperlihatkan halaman mengenai bunga biru ini dua tahun lalu, mungkin aku akan menganggap ini bunga liar biasa. Tapi, tidak. Aku tahu persis ini bunga yang sama dengan bunga yang menjadi bunga nasional Bhutan. Yang tumbuh di sepanjang pegunungan tinggi di sana, 3.500 sampai 4.500 meter di atas permukaan laut.
Kenapa ia di sini?
Sebuah jawaban menyeruak di pikiranku. Untuk menyampaikan sesuatu.
Ini konyol. Aku bertanya sendiri, lalu menjawab seolah-olah aku tahu. Sepertinya aku perlu beristirahat. Kakiku melangkah menuju arah desa. Ketika aku semakin mendekati bunga itu, sejenak aku tergoda untuk menanamnya di halaman rumahku.
Jangan.
Astaga! Itu bukan aku. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku merasa aku mendengar sesuatu yang bukan berasal dariku. Aku menoleh ke arah si bunga biru langka. Tiupan angin menggoyangkannya. Lima helai mahtokanya serupa melambai ke arahku.
Kau melihatku.
Sedetik kemudian aku tersadar; aku baru saja memahami si bunga biru itu.
***
Aku demam sehari setelahnya. Tubuhku menggigil. Selimut yang meneyelubungiku tak pernah kulepas seharian itu. Obat yang kuminum sepertinya menguap begitu saja; tak berguna.
Malam harinya, aku bermimpi. Aku pergi ke bukit dan bertemu si biru itu lagi. Lalu lama-lama seluruh benda di sekitar kami lenyap, tinggal aku dan si biru. Sendi-sendi tubuhku sulit digerakkan, bahkan tidak terasa.
Lalu, ia berkata singkat. “Temuilah aku.”
Begitu bangun, aku sadar jika aku sudah lebih baik. Demamku turun, dan aku merasa lebih nyaman. Kutenggak segelas air minum yang diletakkan mas Rama padaku.
Hari itu, untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa aku memang perlu berbicara dengan si biru.
Kukayuh sepedaku agar aku lebih cepat sampai. Aku baru sadar bahwa aku sama sekali belum mandi sejak kemarin, tapi itu tidak lebih penting dari yang mesti kulakukan saat ini.
Meconopsis grandis itu kembali berayun-ayun ketika aku tiba.
Aku tahu kau datang.
***
Bapak pernah bilang, “Kita ini fana, tapi bumi akan lebih fana tanpa ada nurani manusia.”
Mungkin ini juga bermakna sama dengan apa yang kudengar dari spesies grandis itu. Ia berbisik mengenai kaumnya—makhluk hidup selain manusia. Mereka di ujung tanduk. Mereka akan mati. Lalu, ia memintaku ke kota. Rasanya memang sudah lama sekali aku tak keluar kampung. Ada setengah tahun, mungkin. Fakta yang mengerikan bahwa aku lama terkungkung di kampungku.
Berhari-hari setelah pertemuan pertamaku dengan si biru, aku semakin banyak berbicara dengannya. Lama-lama, aku malah memahami banyak tumbuhan di sana. Seminggu yang lalu meniran berbicara padaku, dua hari setelahnya beringin, lusa mungkin akan ada laporan dari bunga mawar. Aku jadi mendengar keluhan-keluhan mereka, yang membuatku semakin mencintai alam.
“Mas, besok aku ikut ke kota, ya,” ujarku pada Mas Rama. Besok memang jadwalnya ke kota. Abangku itu ada keperluan dengan temannya di sana.
Mas Rama mengangkat alis. “Kota? Kau ada keperluan apa?”
Aku terdiam. “Tak ada, Mas. Hanya ingin melihat. Sudah lama aku di kampung saja.”
“Kau tak sekolah?”
“Aku libur, Mas.”
“Tak bohong? Ada ujian atau apapun yang ingin sedang kau hindari?”
Aku menggeleng. “Anak kelas sembilan ujian. Jadi yang lain diliburkan.”
Mas Rama berpikir sejenak. Kemudian, ia mengangguk. “Tapi kau tak boleh bersikap aneh-aneh.”
***
Kota sudah banyak berubah sejak terakhir kali aku ke sini rupanya.
Sungai di bawahku, yang sedang aku lewati ini dulunya memang sudah kotor, tapi tak sekotor ini. Bahkan di hari yang masih gelap dengan cahaya matahari minim, kentara sekali ada banyak sampah di sana. Aliran airnya menjadi tertahan oleh limbah di sana.
Aku ingat sekali kalau dulu di dekat jembatan ini ada lapangan tempat berkumpulnya anak-anak di daerah situ. Waktu aku melewatinya, tampak keramaian dan kekompakan anak-anak sebayaku yang bermain sepakbola. Apalagi lapangannya sangat rindang, maka tak heran ada banyak orang tua yang ikut berkumpul di tempat itu. Tak hanya bisa untuk berkumpul, lapangan yang dikelilingi pepohonan itu juga tempat mengais rezeki bagi pedagang.
Hari ini, aku malah melihat lapangan itu sudah tertutupi gundukan tanah baru yang siap untuk dihuni oleh bangunan baru. Lapangan tempat kehidupan anak-anak itu sudah mati.
Tak perlu waktu lama, aku sudah rindu kampungku.
Semakin beranjak siang, panas sang surya semakin membakar. Tak adanya pepohonan yang dapat menyejukkan memperparah kondisi ini. Asap-asap yang datang dari knalpot kendaraan menguar ke udara. Kendaraan memenuhi jalanan kota, dipenuhi orang-orang pemalas—yang hanya untuk bepergian ke tempat yang dekat saja harus menggunakan kendaraan bermotor.
Aku jadi mengerti kenapa blue poppy menginginkanku berpetualang.
Ia ingin aku membuka mata.
***
“Intinya, pabrik tekstil itu akan didirikan di dekat bukit. Nantinya akan dibangun jalan pula, yang menyambung ke kampung kita.” Pak Kepala Desa menjelaskan perihal utama yang dibicarakan dalam pertemuan warga kali ini.
Kemarin, aku tiba di kampungku lagi. Baru satu jam di rumah, aku dan Mas Rama mendapat kabar bahwa hari Minggu—itu berarti hari ini—akan diadakan perkumpulan warga di alun-alun. Sayangnya, Mas Rama tidak hadir. Ia pergi ke desa sebelah.
Aku mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Tanpa menunggu untuk dipersilakan, aku berdiri dan menyerukan suaranya. “Kenapa semakin banyak tanah yang ditanami beton, Pak? Bukankah itu akan menghambat air masuk ke dalam tanah?”
Terdengar tawa dari sudut-sudut belakang. “Kau pikir itu penting, Nak? Kami kan ingin kampung ini maju, tak uruslah dengan hal semacam itu! Sudah cukuplah kaki kami berlumpur karena jalan di sini tak ada aspalnya. Kami ingin perubahan!”
Aku menggeleng-geleng. “Tak bisa, Paklik. Nanti kampung kita malah jadi seperti kota-kota besar yang gersang dan merusak alam.”
“Anak kecil tak usahlah sok menasihati!”
“Paklik, tanaman-tanaman di bukit telah memperingatkan saya tentang kemungkinan hal buruk terjadi pada kita. Mereka berbicara pada saya, Pak. Kalian harus percaya itu. Kita perlu merawat bumi ini. Tanah tempat kita dilahirkan.”
Wajah-wajah para penduduk tak dapat kubaca. Kemudian, Pak Ketua RW berteriak, “Dasar anak gila!”
Seruan itu disusul gumaman dan celotehan lain mengenai diriku. Mulutku terkunci. Tak akan ada yang membelaku di sini.
***
Aku menatap kosong ke arah jalanan. Usahaku untung menyadarkan tetangga-tetanggaku kemarin sia-sia. Hari ini, secara beriringan truk-truk besar akan masuk ke kampung membawa material bangunan.
Sore kemarin, aku pergi ke bukit. Meconopsis grandis tak bicara banyak. Ia hanya berkata satu hal, yang hingga saat ini masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Pembalasan itu akan datang, Nara. Pasti.
Tiba-tiba aku merasa bergoyang. Tidak, tanah di bawahku yang bergoyang. Gempa! Aku melompat dari kursi yang kududuki, lalu bergegas membangunkan Mas Rama.
Begitu Mas Rama membuka mata, aku berseru, “Gempa, Mas!”
Kemudian aku langsung melesat keluar.
Di luar rumah, aku baru sadar. Ini bukan hanya gempa berskala tinggi, tapi juga longsor. Teriakan-teriakan memenuhi udara dari orang-orang daerah atas yang bergegas turun ke bawah. Hujan deras yang masih mengguyur bak tetesan air tak bermakna.
Begitu sampai di tempat yang kurasa aman dari longsor, aku berhenti. Sudah tak gempa, tapi hujan masih turun dengan deras. Seorang bapak-bapak menarikku menuju tempat berteduh.
Aku memandang ke depan dengan tatapan kosong. Lihat. Kampung kami terendam seluruhnya oleh gundukan tanah, sebagaimana awalnya ia ada.
“Aku sudah mengatakannya, kan? Bumi ini murka,” bisikku pelan. Butiran bening mulai mengalir dari sudut mataku. Pelan aku melangkah, mencari abangku yang tak tahu di mana. []



[1] Sudah kubilang, kan? Kasihan Nara jadi seperti itu setelah orangtuanya pergi.
[2] Terlalu kepikiran jadi stress sendiri.


*) cerpen ini telah diikutkan lomba menulis cerpen oleh Universitas Jember, @penitimanifest

6 comments:

  1. Kerenn, amanatnya nyentuh :) pengen deh bisa nulis cerpen kayak gini, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih, ya. saran paling umum: banyak-banyak menulis dan membaca aja. pasti bisa nulis cerpen, kok. :)

      Delete
  2. keren banget. ide ceritanya bagus. imajinasinya bagus juga. wah, dua jempol deh. suka banget. pesan moralnya juga dapet. terus berkarya, mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih kak udah baca dan menyempatkan berkomentar.^^

      Delete