Sudjiwo Tedjo
pernah berkata bahwa menghina Tuhan itu gampang. Kita khawatir besok tidak bisa
makan, itu sudah termasuk hinaan pada Tuhan. Saya mau menambahkan: menghina
negara kita ini juga gampang.
Saya kerap
menemukan tulisan-tulisan yang bertebaran di media sosial, atau mungkin bahan
komentar verbal langsung dari orang sekitar, yang mengkritisi suatu kejadian, kasus,
maupun isu negatif. Sayangnya, tulisan tersebut diberi embel-embel
“Selamat datang di Indonesia, negara yang ...”Atau mungkin, yang adalah adalah kalimat sejenis dalam bahasa lain. Bukan hanya satu dua orang yang menceletukkan hal semacam itu. Saya yakin banyak orang yang juga capek membaca kalimat itu. Contohnya saja, ada berita mengenai korupsi, lalu ada yang mengucap spontan, "Selamat datang di Indonesia, negara yang penuh koruptor!"
Dalam kepala
saya, mengkritisi sesuatu memang bagus, apalagi apabila penulisnya memberikan
analisis yang tajam dan tepat. Hanya saja, dengan mengatakan satu kalimat ‘tersebut’, ada nada pesimistis, negatif,
kegetiran, ketidaksukaan—yang tersirat. (Saya pernah mengutarakan hal ini
sekilas melalui akun Line pribadi saya, tapi sekali lagi saya membahas ini dengan
versi lebih panjang di sini.)
Saya pernah
membaca seri Chicken Soup for the Soul-Graphic Novel “Pelajaran Berharga” oleh
Kim Dong Hwa (2006) Salah satu cerita dalam buku tersebut mengisahkan seseorang
yang mengeluhkan hidupnya tiada henti. Lalu, temannya menawarkan akan mengajaknya
ke tempat yang bebas dari masalah apa pun. Tahu ke mana mereka pergi? Oh,
jawabannya adalah pemakaman.
Tentu saja, si
pengeluh itu menyadari apa yang disampaikan oleh temannya.
Tidak ada orang
yang hidup tanpa masalah. Saya rasa, begitu pula dengan Indonesia. Saya ulangi
lagi kalimat fenomenal ini: tak ada yang sempurna di dunia ini. Pun dengan
suatu negara. Pada suatu negara, dengan bangsa yang ada di dalamnya, segala
sesuatu bergerak secara dinamis dan fluktuatif. Tentu saja akan ada perubahan, masalah,
hal positif, bahkan urusan politik yang disoroti rakyat dan media. Akan ada
pula kasus korupsi (yang bagi sebagian orang—tiada henti) diwarnai drama,
tuduhan, dan sangkalan; akan ada kasus seseorang melakukan suatu tindak pelecehan
yang membuat masyarakat geram; atau barangkali akan ada informasi tentang
siklon Cempaka yang sedang terjadi, yang menimbulkan kedukaan bencana di
beberapa titik.
Tetapi, hei,
jangan lupa bahwa ternyata di belahan dunia sana, tim ganda putra bulu tangkis
kita ternyata memenangkan medali emas! Kali lain, ternyata pelajar Indonesia
mengembangkan suatu inovasi yang hebat dan diakui dunia internasional. Dari
buku “Merah Putih Dunia Biru” (2011) yang ditulis Erditya Argah, wah, bahkan
ternyata orang-orang Polandia amat tertarik mempelajari kesenian Indonesia yang
mengagumkan. Jangan lupakan juga ketika KPK berhasil menyelesaikan suatu kasus
dan menyelamatkan triliunan uang negara dari jerat koruptor!
Kebebasan
berpendapat diatur dalam undang-undang—itu adalah hal yang mutlak. Tapi, kalau
kita bisa memilih mengkritisi suatu hal sekaligus
menebarkan optimisme dan kebanggaan akan Indonesia, kenapa tidak?
Dari apa yang
saya pelajari di kelas, Jacques Derrida, seorang filsuf, menyatakan bahwa tidak ada makna yang
kekal. Makna berubah-berubah sesuai dengan waktu dan zamannya. Kita dapat mendekonstruksi suatu hal untuk memperoleh makna baru. Kita bisa
saja mencoba menerapkan konsep yang sama. Sebelum menyalahkan dan cenderung
menjelek-jelekkan negara ini, kenapa tidak kita lihat sisi lainnya? Barangkali
selama ini kita terlalu banyak sekadar melayangkan pendapat dengan nyinyir di media tanpa melakukan aksi nyata. Barangkali ada
situasi tersembunyi yang tidak kita tahu. Segala sesuatu mungkin terjadi.
Pada suatu
waktu, ketika saya mengunjungi destinasi populer Indonesia yakni Candi
Prambanan, saya melihat manusia saling bertumpah-ruah di suatu tempat dengan
damai. Tak peduli mereka Hindu atau Budha, tak peduli berjilbab atau tidak, tak
peduli berkulit putih Eropa atau sawo matang Indonesia, mereka saling mengagumi
kekayaan negara ini dengan bahagia. Bahkan orang asing bisa mencintai negara
ini, maka sepatutnya kita lebih dan lebih bangga lagi.
Saat saya
melalukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) empat bulan lalu di Pati, saya beberapa kali
keluar dengan teman-teman satu tim untuk sekadar menengok alamnya. Kami yang
bertemu dengan berbagai latar belakang berbeda berjumpa dengan eksotisme negara
ini. Ada ribuan menit di mana saya menahan napas sejenak, amat terpukau dengan
suguhan Indonesia di depan mata—yang sederhana, tapi indah. Begitu pula ketika
saya di Bali, di Jepara, di belahan Indonesia yang mana pun.
Bukankah kita
semua pernah memperoleh perasaan itu?
Yang juga
berperan mendorong optimisme saya akan bangsa ini adalah ketika saya melihat
anak-anak. Melihat semangat dan kemauan mereka untuk belajar, melihat sorot
mata murni penuh keingintahuan, dan melihat tawa kesenangan mereka untuk
melakukan apa saja yang mereka inginkan. Mereka penuh aura positif yang
menakjubkan, dan penuh cita-cita.
Kali lain,
ketika saya berkesempatan menjadi volunteer dalam suatu kegiatan komunitas di
daerah pesisir Semarang, saya bertemu anak yang tidak bisa lupakan hingga kini.
Ketika kegiatan selesai, dan anak-anak lain bergegas pulang ke rumah atau
bermain di depan, ada satu anak laki-laki yang berdiri di depan rak buku sembari
membuka-buka buku. Saya pikir, dia akan pinjam buku komik atau cerita anak yang
lainnya, karena itu yang dulu saya lakukan.
Perkiraan saya
sama sekali salah. Ternyata, ia justru bilang pada salah satu pengelola
komunitas, “Mas, aku pinjam ini, ya,” dan memperlihatkan buku RPUL sebelum
akhirnya pamit pulang.
Kalau saya dulu,
RPUL saya buka hanya jika sedang ada PR atau penasaran tentang suatu hal—itu pun
tidak terlalu lama. Makanya, saya takjub melihat anak itu sebegitu tertariknya
dengan RPUL hingga meminjamnya.
Saya
terinspirasi bahkan dari setiap kejadian kecil di sekitar saya, karena kita
tidak selalu butuh hal besar dan luar biasa untuk berubah. Saya percaya, seperti dalam hadits, bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, maka bukankah kita
bisa menjadi bermanfaat dengan menebarkan semangat positif kebanggaan
Indonesia? Satu demi satu pengalaman hidup mendorong saya untuk optimistis dan
bangga dengan Indonesia. Saya percaya dengan anak-anak, remaja, pemuda, dan
banyak rakyat Indonesia di masa depan. Kalau kamu?
![]() |
ocasia.org |
Sebentar lagi bahkan perhelatan Asian Games 2018 akan dimulai di Indonesia yang berperan sebagai tuan rumah. Untuk seluruh atlet yang akan berjuang di laga tersebut, saya juga yakin mereka akan melakukan yang terbaik dan siap membanggakan Indonesia. Kita mungkin bukan atlet, bukan pemerintah, atau bukan sosok yang secara langsung terlibat. Namun, kita tetap bisa mengenyahkan segala keraguan dan bersemangat bersama merah putih kita
: karena kita adalah satu.
Yuk, rayakan persatuan Indonesia dengan segala keberagamannya!
(foto: kecuali logo Asian Games, semuanya adalah dokumentasi pribadi penulis yang diambil di beragam tempat di Indonesia)
0 comments:
Post a Comment