Satu Jam


17.00. Jingga turun dari bus yang ditumpanginya. Ia melirik jam yang sewarna senja di pergelangan tangan kirinya, lalu tersenyum kecil. Tepat waktu.

Kaki Jingga melangkah pelan menuju taman kota yang telah riuh. Pandangan matanya sesekali mengitari taman, mengamati kegiatan tiap kerumunan di sana. Ia melewati air mancur yang ada di tengah taman, tersenyum kecil melihat tingkah anak-anak yang sedang bermain, lalu berjalan menuju bangku panjang yang terletak di bagian belakangtersembunyi oleh pohon-pohon. Di depan Jingga, daun-daun perpaduan antara warna jingga, cokelat, dan kuning berserakan di tanah, bersaing dengan langit yang beranjak memerah.

foto: google.com

Di sana, Jingga duduk dan menunggu.


17.15. Sudah lima belas menit. Tidak biasanya orang yang ia tunggu terlambat seperti ini. Orang itu selalu tepat waktu dan selalu memenuhi janjinya.

Pertemuan hari ini sudah dirancang sejak berhari-hari yang lalu. Jadi, menurut Jingga ini akan menjadi hari penting. Jingga ingat bahwa sebelumnya orang itu sempat membahas mengenai rencana liburan. Mungkin itu yang dibahas? Atau orang itu tiba-tiba punya pekerjaan di luar kota lagi sehingga ingin menyempatkan pergi berdua? Jingga hanya bisa menduga-duga.

Jingga merogoh tas ransel bermotif army yang dibawanya, mencari ponsel. Setelah menemukannya, ia ragu. Apakah ia harus mengirim sms, menelepon, atau menunggu saja? 

Jingga menghela napas. Menunggu. Itu keputusan yang dipilihnya.


17.35. Terlalu lama. Jingga memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan.

Kau di mana? tulisnya.

Mencoba untuk mengabaikan kegelisahanya, ia membuka e-book yang sudah tersimpan di ponselnya, kemudian mulai membaca. Tapi, pikirannya sama sekali tidak fokus. Bahkan tiupan angin dan pergerakan daun-daun yang berguguran rasanya semakin menambah hamburnya konsentrasinya.

Sementara pesan yang ia kirimkan tak kunjung berbalas.


17.45. “Kenapa sendirian?”

Lamunan Jingga seketika buyar. Ia mendongak. Ia mendapati seorang penjual minuman–yang sekaligus teman kuliahnya, duduk di sebelahnya.
“Menunggu.”

Teman lelakinya itu mengangguk-angguk. “Ah. Sudah kuduga. Aneh saja melihat kau sendirian di sini. Dia masih di jalan?”

Jingga menghela napas. “Aku tidak tahu.”

Hembusan angin menggantikan percakapan yang terhenti. Hening sejenak. “Kalau ia memang tak kunjung datang, lebih baik kau lekas pulang. Hari sudah beranjak gelap.” Ia menepuk pelan pundak Jingga, lalu pergi.

Jingga mengangguk saja.


17.55. Jingga sudah tak tahan lagi. Ia benar-benar gelisah sekarang. Berkali-kali ia telepon dan mengirim sms, tapi sama sekali tak ada jawaban.

Taman sudah semakin sepi. Tinggal satu dua pedagang yang sibuk mengemasi dagangannya, bersiap pulang. Kini, Jingga mulai berpikir yang tidak-tidak. Perasaannya juga tak enak. Bagaimana kalau orang itu kenapa-kenapa di jalan? Tidak, tidak. Jingga merasa perlu menghentikan pikiran buruknya.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang tergesa.

Jingga menoleh.

Orang yang ditunggunya sudah datang.


18.00. Jingga tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia yakin ini mimpi. Ini pasti bukan kenyataan. 

“Kita tidak bisa bersama, Jingga,” ulang laki-laki itu.

Jingga diam saja.

“Maafkan aku. Aku dijodohkan. Kita harus berpisah. Untuk bertemu denganmu di sini saja, susah. Aku benar-benar minta maaf, Jingga. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku ...”

“Pergi,” potong Jingga. Butiran bening luruh dari sudut matanya.

Laki-laki itu menghela napas. “Jingga ...”

“Pergi.”

Laki-laki itu tak membantah lagi. Tangannya terulur untuk menyeka air mata Jingga, lalu mengecup pelan puncak kepala Jingga. “Selamat tinggal.”

Begitu lelaki itu hilang dari pandangan, bahu Jingga mulai berguncang pelan. Tangisnya tak tertahankan lagi.

Ternyata ia menunggu hanya untuk menerima ucapan selamat tinggal. []



6 comments: