Pulang

Aneh.

Aku baru bangun dari tidur siangku, lalu melangkah menuju jendela. Kusingkap tirai yang menutupinya, lalu aku memandangi kota dari kamar apartemenku yang terletak di lantai empat.

Kota benar-benar sepi.

Kesepian yang janggal. Tidak ada kesibukan, tidak ada orang, bahkan tidak ada ... kehidupan.

Aku berpikir untuk menghubungi teman-temanku. Kucari-cari ponsel yang biasanya kuletakkan di dalam tasku, tapi aku tidak dapat menemukannya. 

Ketika aku sekali lagi mengamati kotaku, aku baru sadar satu hal; kota ini terlihat beda. Tidak ada gedung pencakar langit yang biasanya bisa diamati dari tempatku sekarang. Tidak ada mall yang bisa kulihat dari sini. Bahkan kamarku pun tidak tampak seperti biasanya.

Pandanganku teralih pada sebuah koran di atas meja. Buru-buru, aku mengambilnya. Lalu seketika tersentak saat aku melihat tanggal yang tertera di sana. 14 April 1954. Ini berarti lima puluh tahun lalu.

Kegugupan mulai melandaku. Aku bergegas turun, keluar dari gedung apartemen.

Aku berlari, tanpa tujuan. Aku hanya berusaha menemukan orang lain di sini. Lalu aku berbalik saat kusadari aku berada di jalan buntu. Sekarang, bukan hanya gugup, tetapi aku benar-benar takut. Tubuhku menggigil. Aku terus berlari, sampai aku merasa kelelahan ... kemudian terjatuh.

Begitu aku membuka mata, yang kulihat pertama kali adalah langit-langit kamarku. 

***

“Aku bermimpi aneh. Aku berada di kota yang asing, dan hanya ada aku seorang di sana.”

Zen tersedak kue yang dikunyahnya. Aku mengangsurkan segelas air putih kepadanya. Begitu ia menghabiskan minumnya, ia berkata pelan, “Aku juga mendapat mimpi yang sama.”

Zen menceritakan mimpinya padaku. Alih-alih berada di dalam kota-lima-puluh-tahun-yang-lalu, Zen malah merasa ia ada di kota modern. Katanya, ia berpakaian aneh. Seperti manusia masa depan dalam film-film science fiction. Tempat tinggalnya berisi peralatan canggih, termasuk robot-robot seukuran manusia.

Zen bilang, “Aku tidak tahu ini pertanda buruk atau baik.”

***

“Aku bermimpi aneh. Aku berada di kota yang asing, dan hanya ada aku seorang di sana.”

Kali ini, aku membisikkan ini pada tetanggaku—Ratih, pemilik apartemen tepat di seberang tempat tinggalku. Wajahnya tiba-tiba menegang. “Aku juga.”

Ia bercerita. Ia berada dalam kota—ah, tidak, ia berada di dalam suatu kerajaan. Ia bahkan menjadi sang putri, lengkap dengan pakaian ala putri keraton dan perhiasan-perhiasannya. Rambutnya yang panjang disibakkan ke sisi kiri. Aku jadi ingat putri-putri Bali.

Aku tidak terlalu memperhatikan apa isi mimpinya lagi, tapi aku mendengar ia berkata, “Mimpi tidak selalu berarti kembang tidur belaka.”

***

Aku bermimpi aneh.

Kali ini, tidak sama dengan mimpi sebelumnya.

Dalam mimpiku, aku melihat Zen berada dalam kota yang persis seperti apa yang digambarkannya padaku. Ia menoleh, dan tersenyum padaku. Perlahan, gambar itu memudar, lalu aku melihat Ratih dengan gaun putrinya. Sangat cantik. Lalu semuanya gelap. Samar-samar, aku mendengar satu kata digumamkan dengan lirih; pulanglah.

Tidak ada yang kumengerti dari semua itu.

Pagi tadi, aku mencari Zen. Tapi aku tidak menemukannya. Orang-orang di kantornya mengatakan sesuatu semacam, “Tidak ada yang bernama Zen.”

Kuputuksan untuk menemui Ratih. Begitu kuketuk pintu, yang keluar malah seorang wanita yang menggendong bayi. Aku mengerutkan kening. Siapa wanita ini?

“Maaf, Ratih ada?”

Wanita itu tampak bingung. “Ratih? Siapa itu? Tidak ada yang bernama Ratih di sini, Nona. Mungkin kau salah mengingat nomor apartemen?”

Kini aku yang bingung. Tidak ada? Mungkinkah ia pergi tanpa pamit?

“Anda baru pindah ke sini?” tanyaku.

Wanita itu terkekeh. Aku tidak tahu apa yang lucu. “Pindah? Aku sudah lima tahun tinggal di sini, Nona. Apa kau sedang mencari apartemen? Apartemen di depanku itu sedang kosong. Mungkin kau bisa menempatinya.”

Aku tidak mengerti.

Dengan linglung, aku kembali ke apartemenku. Di dalam kamar, aku merebahkan diri. Kupejamkan mata. Entah mimpi atau bukan, aku melihat potongan-potongan gambar seperti mimpiku lagi.

Lalu, sekali lagi aku mendengar kata-kata itu; pulanglah. []

2 comments:

  1. Replies
    1. Memang iya? Kukira malah pembaca bakal berpikir kalau cerita ini absurd..
      Makasih udah baca, ya. (´▽`)

      Delete