Suatu kali, aku pernah bilang kepada seorang teman bahwa lelaki itu cenderung nggak memiliki tuntutan untuk menikah di usia 20-an awal. Oke. Itu cuma sekadar opini pribadi... yang berangkat dari keadaan di lingkungan sekitar. Memang begitu, kan? Tapi, perempuan berbeda.
Pagi itu, aku sedang membalas chat yang masuk di ponsel. Ibu sibuk dengan catatan-catatan. Sesekali, kami mengobrol. Lalu, tiada angin, hujan, badai, atau apapun... Tapi, tiba-tiba topik pembicaraanku dan ibu menuju ke arah baper.
“Kamu nikahnya maksimal umur 25 lho. Ya sekitar 23—24 aja.”
Kalau aku bisa pasang stiker Line di sini, aku akan menampilkan stiker dengan ekspresi shock. Gimana nggak baper kalau tiba-tiba disodori reminder kayak gitu? I just turn 20 next month, tapi aku udah beberapa kali diingatkan soal itu. Saat itu, aku cuma cengar-cengir aja, nggak tahu harus respon gimana.
Memang, selama ini Ibu nggak pernah tanya apa-apa soal laki-laki. Mungkin, ya, sesekali ibu tanya, “Temenmu itu sekarang kuliah di mana? Mantan pacarmu itu,” yang kemudian kujawab sekadarnya sambil menggumam, “Bukan mantan pacar.” Lha, soalnya enggak pernah menyandang status pacaran. Meskipun Ibu nggak pernah tanya apapun, tapi pernyataan soal 23—24 itu benar-benar ampuh bikin galau... Haha.
Meskipun demikian, aku yakin nggak semua perempuan akan ‘ditodong’ seperti itu. Ini semua bergantung pada kultur keluarga, lingkungan, dan sebagainya. Pokoknya, ingat-ingat saja:
rumus mencari jodoh adalah memantaskan diri.
rumus mencari jodoh adalah memantaskan diri.
***
“Berarti targetkan ketemu jodohmu 3—4 tahun dari sekarang.”
“Ketemu jodoh mana bisa ditarget?”
“Itu udah ditarget ibumu, di-aminin aja.”
(foto: tumblr.com)
0 comments:
Post a Comment