pict: pksbudayana.org |
Pada
akhirnya, aku percaya. Seruan angin yang bebas tak bertepi, mengalun layaknya rahasiaNya
pada makhlukNya. Dentingan halusnya berirama dalam, tak tahu esok benar-benar
akan ada angin kencang atau hanya semilir lembut. Ada banyak hal yang tidak
kita ketahui. Kini aku mengerti itu.
***
Namanya
Chairil Anwar. Aku mengenalnya sejak kecil. Kami tumbuh bersama seperti saudara
yang kompak. Tinggi badan kami sama, hanya ia sedikit lebih putih dibanding
aku.
Suatu
hari, ia pernah berkata padaku, “Aku pernah bertanya pada Bapak, kenapa namaku
Chairil Anwar. Kata beliau, agar aku bisa seperti Chairil Anwar yang hebat.”
Aku
hanya tersenyum mendengarnya. Chairil menyukai namanya. Ia tidak
mempermasalahkan dengan orang-orang yang kadang suka mengolok-olok atau
menggodanya hanya karena namanya persis seperti nama pujangga besar Indonesia.
Pernah,
ketika hari-hari pertama kami masuk SMP—saat guru mengabsen nama Chairil Anwar,
teman-teman sibuk mengomentari.
“Oh,
ini toh yang namanya Chairil Anwar?”
“Wih,
ada pujangga besar di kelas kita!”
“Aku ini
binatang jalang ... Hahaha!”
Aku
tidak mengerti. Kalau aku, pasti sudah merasa kesal sekali. Mungkin aku akan
berteriak-teriak kencang sambil membela namaku. Membela harga diriku.
Tapi
hari itu Chairil cuma tersenyum mendengarnya.
Chairil
anak yang tegar dan kuat. Aku tahu itu. Mungkin dididik bertahun-tahun oleh
bapaknya itu, membuatnya menjadi sosok yang kuat.
“Kau
tahu, Alif. Bapak pernah bilang, walaupun sejuta orang atau seisi dunia ini
mencaci maki kita, kalau kau tidak melakukan sesuatu yang merugikan mereka atau
berbuat suatu larangan, maka teruskan, jangan pedulikan orang lain. Berdiri kokoh,
tegak memandang semuanya. Seperti burung yang bebas terbang melihat sepanjang
jangkauannya. Aku selalu mengingat ini, Alif. Selalu.”
Tetapi, lihat ini. Chairil yang
kuat, hari ini hanya berjongkok dalam diam di samping pusara bapaknya. Tidak
ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.
“Chairil, sebentar lagi hujan.
Pulang saja.”
Chairil bergeming, seperti tidak
mendengarkan ajakanku. Gesekan suara dedaunan dengan angin justru terdengar
jelas.
“Kau pulang saja duluan, Alif. Aku
masih ingin di sini,” sahutnya setelah beberapa detik sunyi. “Lagipula, rumahku
bahkan kelihatan dari sini.”
“Chairil ... kau masih bisa ke sini
kapanpun kau mau, tapi kau sedang sakit. Badanmu demam. Ayolah, kau lebih baik
ke rumahku. Emak[1]
sudah menyiapkan obat untukmu.”
“Biarkan aku sendiri, Alif. Nanti
aku menyusulmu ke rumahmu.”
Aku menghela napas. Kutepuk bahu
Chairil sesaat, lalu bergegas pergi.
Berdirilah tegak, Chairil. Seperti
yang dinasihatkan bapakmu kepadamu.
***
Karena aku tumbuh bersama Chairil,
aku tahu pasti bagaimana kehidupannya. Emaknya
sudah meninggal saat melahirkan Chairil. Hanya dari foto, Chairil bisa melihat
emaknya.
Chairil menyimpan foto emaknya di
dalam buku tulis yang sering ia gunakan untuk menulis puisi-puisi atau tulisan
lain. Kadang, ia memindahkannya ke dalam dompet hitam tua miliknya.
Anak lelaki itu memang pandai
menulis syair. Bagus sekali. Beberapa waktu lalu, pelajaran puisi pertama kami
di SMP ini, guru meminta kami untuk membuat puisi dan mendeklamasikannya di
depan kelas.
Hari itu, ketika dengan suara
lantang dan gaya khas Chairil, ia menyihir seisi kelas dengan puisinya.
Puisinya hanya dua bait, dan sederhana. Karena saat itu kami hanya di beri
waktu tiga puluh menit untuk membuatnya. Aku masih mengingat bait ke-duanya.
Pada
ujung hari itu aku menangis
Pada ujung hari itu aku berseru,
Mana keadilanMu, Tuhan?
Luluh lantak, pergi, menghilang
Maka, kubisikkan pada angin yang tak
tergenggam
Pada sekawanan hujan yang diam,
Aku, di sini, menantiMu
Chairil mendapat nilai tertinggi.
Aku tidak terkejut dengan itu.
Aku
ingat sekali puisi itu. Bahkan sampai detik ini, saat Chairil akhirnya datang
ke rumahku dengan tubuh basah kuyup dan nyeker[2] sementara
sandal ditentengnya. Jalanan di kampung kami dari tanah, bukan paving atau
semacamnya. Jika hujan, jalanan akan becek seperti lumpur. Daripada menyulitkan
berjalan, maka kami biasanya tidak memakai sandal selepas hujan turun.
Chairil diminta Emak untuk mandi. Aku meminjamkan pakaianku untuknya. Emak memegang kening Chairil. Panas,
kata Emak tanpa suara. Emak menyiapkan makanan dan obat untuk
Chairil.
Namun,
selama itu Chairil hanya diam. Tidak berkata apapun pada Emak atau padaku.
Aku seperti tidak mengenal Chairil.
***
Bapak Chairil meninggal karena sakit
jantung dan lupus. Tadinya aku tidak tahu apa itu lupus, maka saat ke
kecamatan, aku menuju warnet dan mencari tahu.
Sejak itu, aku tahu, wajah Bapak
Chairil yang bercak merah itu karena penyakit ini. Tapi orang-orang tidak
paham. Mereka mengembuskan berita bahwa Bapak Chairil terkena penyakit kutukan
karena tinggal di dekat kuburan.
Payah. Itu isu yang jelas-jelas
tidak benar.
Orang-orang di kampung kami
kebanyakan tidak acuh, tidak mau membantu. Katanya ingin melihat keadaan saja, tetapi
lalu mencela.
Hanya
segelintir yang peduli. Aku tahu betul itu.
***
Chairil
tinggal di dekat kuburan yang ada di kampung kami—kampung kecil di kabupaten
Grobogan. Persis di sebelah kuburan. Dan rumah lain berjarak lima belas meter
meter dari rumahnya—rumah Pakde War. Pakde War tetangga Chairil sejak kecil,
dan beliau sering membantu keluarga Chairil. Sementara di seberang jalan hanya
tanah kosong yang luas.
Beberapa minggu yang lalu, saat aku
bermain bersama Chairil di rumahnya, ada lelaki dewasa datang. Mungkin usianya
sekitar tiga puluh tahun.
“Piye
kabare bapakmu, Le[3]?”
tanya lelaki itu.
“Bapak
sudah lebih baik, Lek[4],”
jawab Chairil. Ia menyuguhkan segelas air putih untuk orang itu.
Aku tidak mengenalnya, entah Chairil
bagaimana. Tapi aku tidak menyukai raut wajah orang itu.
Orang itu ragu-ragu mengangkat gelas, lalu
bertanya, “Eh, ini air apa, Le?”
Chairil
diam sejenak, menatap lelaki di depannya itu. Lalu, ia menjawab dengan datar, “Air
kuburan. Tadi malah ada tulang-tulang sama gigi manusia. Tapi sudah saya
saring.”
Aku
menahan tawa.
Tamu
itu langsung memucat, dan lekas pergi usai percakapan itu.
Dan
aku langsung terbahak kencang.
Padahal,
air di rumah ini disalurkan dari rumah Pakde War, dengan selang-selang panjang.
Airnya bersih. Tidak ada tulang belulang maupun gigi manusia.
“Kasihan
tamu-tamu yang datang ke sini, Ril,” celetukku di sela-sela tawa geliku.
Chairil
hanya mengangkat bahu, lalu menyahut ringan, “Mereka sendiri yang berpikiran
negatif. Aku cuma bercanda.”
Memang,
di balik ketegasan dan keseriusan Chairil, terkadang kata-kata yang asal
diucapkannya itu justru membuatku tertawa.
***
Puisi pertama yang Chairil baca merupakan puisi karya
Chairil Anwar. Itu saat Bu Guru kami—Bu Dwi, meminta kami untuk membaca puisi
di buku paket bahasa Indonesia pinjaman perpustakaan sekolah. Tiga tahun lalu,
saat kami kelas empat SD. Kata Chairil, sebenarnya sejak kecil ia sudah melihat
buku puisi Chairil Anwar milik bapaknya, tetapi belum pernah tertarik untuk
membacanya.
Puisi itu berjudul Diponegoro. Chairil dan aku suka
bagian ini:
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Sejak
menemukan puisi itu, Chairil bilang, “Aku akan menjadi penyair hebat seperti
Chairil Anwar, Lif.”
Aku mengamini. Aku tidak meragukan Chairil. Ia tangguh
dan pekerja keras.
***
Aku menggosok-gosokkan tangan di dekat pawon[5].
Hangat. Berada di sini merupakan kebiasaanku saat aku kedinginan karena hujan
deras. Selagi Emak memasak, aku akan
membantu sedikit sembari menghangatkan badan.
“Lif, Chairil diajak omong ...,” pinta Emak. “Emak paham dia sedih, tapi tidak baik berlarut-larut dalam
kesedihan.”
Aku mengangguk. Detik kemudian aku sudah berjalan
menghampiri Chairil yang duduk di depan jendela—memandangi hujan dengan tatapan
kosong.
Aku menghela napas. “Chairil, kau pernah bilang padaku.
Kau sekuat baja, sebebas hembusan angin. Tapi hari ini kau berkarat, Ril. Dan
kau angin yang terperangkap dalam wadah kecil yang sesak dan sempit.”
Chairil diam saja.
“Lihat tetesan air hujan itu, Ril. Mereka mengalami
perjalanan panjang, tidak pernah berhenti. Dari air menjadi uap air yang
kemudian membentuk awan hujan. Berputar-putar. Banyak yang dialami tetapi
mereka tetap melaksanakan apa yang harus mereka lakukan. Kau seperti itu, Ril.
Kau pantang putus asa dan bersedih.”
Sepanjang hari itu aku terus berceloteh, dan Chairil
tetap dalam diamnya.
***
Hari ini aku tidak menemukan Chairil. Dia tidak di
rumahnya, juga tidak di rumahku. Sekolah sedang libur, jadi Chairil juga tidak
mungkin ke sekolah. Aku mencarinya ke rumah Pakde War, ke rumah Lek Gio, dan rumah lain yang barangkali disambangi
Chairil.
Tapi Chairil tidak ada di mana-mana. Orang-orang yang
kutemui juga tidak tahu. Atau kebanyakan dari mereka mungkin memang tidak
peduli.
Hingga semburat cahaya jingga menaungi langit seperti
payung raksasa, Chairil belum juga kutemukan.
Aku
mendongak. Memandangi ciptaan Tuhan ini. Lihat, Chairil. Ini senja yang indah.
Bukankah kau bilang, senja itu menakjubkan?
Menjelang petang, dari dalam rumah, lamat-lamat aku
mendengar namaku dipanggil-panggil. Suara dari kejauhan yang semakin mendekat.
Aku kenal suara itu. Cepat-cepat aku keluar rumah—tanpa sandal, menunggu di
depan pintu.
Chairil.
Tergopoh-gopoh ia turun dari sepeda tuanya, lalu berlari
menghampiriku. Kemudian dengan napas masih terengah-engah, ia mengulurkan buku
atau entah majalah yang ada di tangannya.
Chairil tersenyum, benar-benar berbeda dengan kemarin.
“Aku jadi penyair, Lif ... Kawanmu ini sudah jadi penyair!” Chairil membuka
majalah yang dibawanya, menunjukkan satu halaman. “Ini puisiku, Lif. Lihat,
Chairil Anwar. Keren sekali nama itu tercetak di sini.”
Aku memandangi puisi itu. Benar. Hebat sekali. “Aku tahu
kau bisa, Ril. Selamat,” aku terkekeh pelan sambil membaca puisi itu.
“Pagi tadi kubongkar celenganku. Lalu aku ke kecamatan, cari
warnet, mengirim karyaku untuk majalah. Aku kirim lewat e-mail, Lif ... Haha. E-mail
hasil ajaran kau itu. Lalu, di jalan aku bertemu tukang pos. Ternyata mengirim
wesel untukku, Lif. Honor pertamaku. Makanya langsung kucari majalah ini,” Chairil
bercerita dengan senang.
Aku hanya khidmat mendengarkan.
Untuk
beberapa saat hanya kudengar helaan napas Chairil. “Kau tahu, Lif. Kemarin aku
seperti mati. Seperti tidak ada lagi yang membuatku hidup. Tengah malam, Lif.
Tengah malam aku terbangun. Lalu aku membuka buku puisi Chairil Anwar milik Bapak.
Aku jadi ingat mimpiku, aku jadi ingat orang-orang yang masih peduli
denganku—seperti kamu dan emakmu. Aku
kuat, Lif. Aku bisa.”
Aku menepuk pundak Chairil, tersenyum pada sahabatku ini.
“Chairil
... kau berhasil menyemangati dirimu sendiri. Kau bebas. Angin—ya, seperti
angin yang bebas berembus kemanapun tujuannya. Jangan patah semangat, Ril.” []
[1] Ibu
[2] Berjalan
tanpa alas kaki
[3] Bagaimana
kabar bapakmu, Nak?
[4] Om;
panggilan kepada lelaki yang lebih tua
[5]
Perapian/tungku untuk memasak, berbentuk memanjang dengan dua lubang di atasnya
tempat menaruh alat masak
*) cerpen ini telah diikutkan lomba menulis yang diadakan oleh imetafor.com
0 comments:
Post a Comment