Gadis yang Membenci Hujan



“Kenapa kau membenci hujan?”
“Aku tidak membencinya.”
“Kau membencinya, kau menghindarinya.”
           “Apa aku punya alasan untuk membenci hujan?”
***
Semarang, Jawa Tengah
23
 C
pict: lovely-autumn-2012.blogspot.com


Aneh sekali.
Gadis itu tersenyum, tetapi aku tidak melihatnya tersenyum. Gadis itu tertawa, tetapi aku tidak melihatnya tertawa. Yang kulihat hanya usahanya untuk menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, membentuk lengkungan, dan menyembunyikan tatapan sendunya dari teman-temannya.
Aku pertama kali melihatnya hari itu. Ketika langit masih menumpahkan air hujan ke kota kami, dan gadis itu hanya diam memandangi hujan dari pinggir bangunan kampus yang terlindungi oleh atap. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Kemudian gadis itu tampak menghela napas, dan pergi.
Aku mengikutinya. Gadis itu menuju perpustakaan. Dia duduk di pojok perpustakaan yang gelap. Ia hanya diam di sana, memandangi entah buku apa di hadapannya.
Yang jelas, aku tahu hari itu ia tidak sedang benar-benar membaca.
***
Alex melihat gadis itu lagi. Kemarin, gadis itu duduk di tempat itu sambil membuka-buka buku—di pojok perpustakaan yang gelap. Hari ini juga sama. Lagi-lagi pada hari hujan. Dan hanya pada hari hujan.
“Hai.” Untuk kesekian kalinya Alex melihat gadis itu, hari ini Alex menyapanya.
Gadis itu mengangkat wajahnya dari bukunya, menatap Alex tanpa ketertarikan.
Alex tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, “Aku Alex. Salam kenal.”
Alex tidak berharap banyak gadis itu akan membalas uluran tangannya. Dan benar, gadis itu bergeming. Alex hanya tersenyum tipis.
“Namaku Arina.”
Alex tersenyum simpul mendengar gadis itu berbicara.
***
“Hai, Arina.”
Arina menoleh. Laki-laki itu lagi. Laki-laki yang kemarin memperkenalkan diri kepadanya lalu duduk di depannya sambil menggambar sketsa entah apa—Arina tidak peduli. Laki-laki yang akan segera mengganggu kesibukannya menyelesaikan membaca buku. Alex.
“Kau di sini lagi,” Alex berkata lagi, seakan tidak menyadari tatapan malas Arina.
Arina mengangguk singkat. Sungguh, ia sedang tidak ingin berurusan dengan siapapun. Alex lebih baik berkumpul bersama teman-temannya, alih-alih duduk di di depan Arina seperti ini.
Sejenak sunyi. Lalu Alex akhirnya bersuara, “Aku tahu sedang ada yang membebanimu. Dari matamu terlihat jelas.”
“Jangan sok tahu,” balas Arina datar. Bola matanya bergerak-bergerak mengikuti tulisan yang sedang ia baca.
“Kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku bisa membantumu,” tawar Alex. “Tapi aku tidak memaksa.” Alex mengangkat bahu.
Arina memutar mata. Lelaki di depannya ini ternyata sangat senang mencampuri urusan orang lain. Dan Arina tidak suka itu.
***
            “Untukmu.”
            Alex menyodorkan sebotol minuman dingin ke depan Arina. Lagi-lagi ia duduk di hadapan Arina. Alex membuka botolnya lalu menenggak minumannnya dengan cepat.
            Melihat Arina yang masih bergeming, Alex bertanya, “Kau tidak suka minuman dingin saat hujan begini? Tidak apa-apa. Kau bisa meminumnya nanti.”
            “Memangnya boleh minum di perpustakaan?”
            “Ya asal kamu nggak menumpahkan air ke buku aja. Lagian, di sudut ini sepi, nggak ada yang lihat.”
            Arina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tidak perlu buang-buang waktu di sini. Apalagi repot-repot membelikanku ini,” Arina mengangkat botol minuman itu.
            “Aku tidak membuang waktu. Lagipula, aku berhak melakukan apapun yang kuinginkan, bukan?” Alex membalas ringan.
            Gadis itu bersikap defensif padanya, Alex tahu itu. Tapi sikap gadis itu tidak akan menyurutkan niatnya untuk lebih mengenal gadis itu.
            “Buku apa yang kau baca?” Alex bertanya setelah beberapa detik tidak ada percakapan.
Arina mengangkat bukunya, menunjukkan cover depan buku itu.
“Sherlock? Aku tidak tahu kau suka Sherlock.”
Untuk apa kau tahu? pikir Arina.
“Aku juga suka Sherlock Holmes. Menurutku, Conan Doyle sangat cerdas menceritakan tiap kasus dan segala cara penyelesainnya oleh tokoh rekaannya itu, Holmes. Kau sendiri, kenapa suka Sherlock?”
Arina tersenyum tipis. Ia menyukai pertanyaan ini. “Karena kebanyakan isinya menceritakan tentang misteri pembunuhan dan kematian.”
***
Alex menggoreskan pensilnya ke atas sketchbook-nya. Ia membuat sketsa gadis itu—Arina. Gadis yang masih tetap duduk di sudut perpustakaan saat hari hujan.
“Kenapa kau membuat sketsaku?”
Alex masih terus menggoreskan pensilnya. Menyelesaikan sketsa Arina yang sedang membaca buku. “Sedang ingin saja.”
Selama beberapa detik keheningan menyelimuti mereka.
“Kenapa kau membenci hujan?” tanya Alex tiba-tiba.
“Aku tidak membencinya.”
“Kau membencinya. Kau selalu menghindarinya. Kau selalu di sini saat hujan turun.”
Arina tidak menjawab. Ia hanya memandangi tulisan-tulisan yang ada di buku di hadapannya. Lalu akhirnya ia bertanya, “Apa aku punya alasan untuk membencinya?”
“Tentu. Jadi, kenapa kau membenci hujan?”
“Aku tidak punya alasan untuk membencinya.” Arina menutup bukunya dengan keras. Ia berdiri. Berjalan pergi, mengabaikan tatapan bertanya Alex kepadanya.
***
            Hari ini hujan lagi. Alex masih duduk membuat sketsa di depan Arina. Kali ini sketsa Arina sedang tersenyum di balik jendela.
            “Wajahku tidak seperti itu,” celetuk Arina.
            “Memang. Wajahmu kan selalu penuh kesedihan.”
            Arina merengut. Ia tidak membalas. Lagi-lagi ia asyik dengan bukunya.
            Hari ini ternyata berbeda. Sampai pukul lima sore lebih, hujan masih belum berhenti. Masih mengguyur dengan deras.
       Arina melirik jam tangannya. Sudah waktunya pulang. Kalau tidak, ia tidak akan mendapatkan angkutan atau bus menuju ke rumahnya.
            “Aku bisa mengantarmu, kalau kau mau.”
            Arina menoleh ke arah Alex. “Tidak perlu, terima kasih.”
            “Memang kau yakin masih ada angkutan menuju ke rumahmu?”
            Tidak ada sahutan.
          “Kita bisa menunggu sampai hujan sedikit reda,” ujar Alex. Ia mengangkat kepalanya, memandangi hujan. “Omong-omong, kalau kau benci hujan, aku justru sangat suka hujan.”
              Arina merapatkan jaketnya. “Kenapa ... ?”
            “Aku menikmati setiap tetesan airnya, udaranya, dan wanginya. Itu ucapan adikku, sih. Tetapi menurutku juga begitu,” Alex memiringan kepalanya, menatap Arina.
            Arina menggigil. “Aku pernah melihat seorang anak meninggal karena petir saat hujan—di depan mataku. Ibuku dan adikku meninggal karena kebakaran rumah. Semuanya bilang itu karena arus pendek listrik, tapi kemudian aku tahu itu perbuatan kolega bisnis kakek dan ayahku. Hari itu hujan juga turun. Ayahku pergi meninggalkanku saat hujan turun. Aku benci hujan.” Air mata mulai menggenang di sudut-sudut mata Arina. Ia menangis.
            Alex terpana. Ia tidak menyangka karena itulah Arina selalu bersembunyi di sudut perpustakaan saat hujan. Gadis itu terlalu memiliki kenangan buruk. Alex meraih tubuh Arina, memeluknya. Mengusap rambutnya tanpa kata-kata.
            “Segala sesuatu terjadi untuk alasan yang tidak pernah kita tahu, Arina.”
***
Alex tidak melihat Arina hari ini. Langit hanya berawan, tidak ada hujan. Alex berpikir Arina tidak akan berada di perpustakaan.
Tetapi besoknya Alex juga tidak menemukan Arina. Lihat, padahal hujan turun dengan deras.
Kau kemana, Arina?

***
“Kau melihat Arina?”
“Kau tidak tahu? Ng ... Arina kecelakaan. Kemarin, hari Minggu. Sepertinya hujan deras itu membuat pengemudi truk tidak melihat dengan jelas dan jalanan licin. Arina .. meninggal di tempat."

*) cerita ini pernah diikutkan lomba menulis cerpen oleh Majalah Gradasi, dan (sepertinya) sempat dimuat di salah satu edisinya.
*) maaf untuk paragraf yang tidak rapi. aku posting ini tanpa diedit ulang. *sungkem*

0 comments:

Post a Comment