“Ia harus tetap aman.”
“Apakah kita akan terus menjaganya agar ia tetap hidup?”
“Tentu saja tidak. Akan ada hari ketika ia hanya akan menjadi sampah.”
***
![]() |
pict: ljokoljo.blogspot.com |
Aku tidak tahu
kenapa aku mau mengenakan pakaian seperti ini. Celana panjang hitam yang
kebesaran untukku, kaus hitam yang ditutupi jaket abu-abu, dan topi hitam untuk
menutupi sebagian wajahku. Rambut sebahuku kuikat dan kututupi dengan topi.
Kupikir aku
terlihat seperti penguntit.
Tetapi, demi
bisikan-bisikan yang kudengar semalam saat aku pura-pura terlelap, aku tetap
memakai pakaian yang mereka berikan padaku semalam. Kemudian pergi diam-diam
dari persembunyian yang pengap itu. Sambil mencuri
topi salah satu dari mereka, tentunya.
Mereka ternyata
meremehkanku. Pertahanan mereka gampang ditembus. Satu gerakan, runtuh
seluruhnya. Aku yang sedang ingin menikmati udara luar sambil menyesap kopi
kesukaanku pun bisa sampai kemari dengan selamat. Ah, harusnya mereka berterima
kasih padaku. Aku sudah berbaik hati tidak membunuh salah satu anak buah
mereka.
Dari sudut kafe yang terletak di dekat jendela kaca ini, aku bisa melihat hujan deras turun di luar sana. Beberapa orang mempercepat aktivitasnya, beberapa lainnya bergegas pulang ke rumah—mungkin berharap mendapatkan secangkir cokelat panas.
Dari sudut kafe yang terletak di dekat jendela kaca ini, aku bisa melihat hujan deras turun di luar sana. Beberapa orang mempercepat aktivitasnya, beberapa lainnya bergegas pulang ke rumah—mungkin berharap mendapatkan secangkir cokelat panas.
Dua orang lelaki
tiba-tiba masuk, mencari-cari tempat kosong di kafe ini. Salah satunya tinggi,
besar, berambut panjang diikat. Lelaki lainnya juga tinggi, tetapi badannya
tidak gemuk, dan memiliki mata yang sangat tajam. Keduanya memakai jas berwarna
hitam. Mereka memilih tempat di seberangku.
Aku melirik
mereka dari sudut mataku. Begitu mereka duduk, rasa tidak nyaman yang aneh
langsung menyelimutiku. Perasaan aneh apa ini? Siapa mereka berdua?
Aku merapatkan
jaketku, seolah aku benar-benar kedinginan di dalam kafe yang hangat ini.
"Aku yakin
ia masih di sekitar sini." Aku mulai mencuri dengar percakapan mereka.
"Tentu
saja. Perempuan itu tidak akan dibawa pergi jauh. Ia masih berada di salah satu
sudut kota ini, di mana tikus-tikus bodoh itu menyembunyikannya di dalam got."
Laki-laki
lainnya menyeringai. "Cepat atau lambat kita akan mendapatkannya. Sayang
sekali mata, hidung, dan bibir yang indah itu harus kita cabik-cabik."
“Dan kita akan
mengirimkan telinganya masing-masing kepada dua orang itu. Ah, aku mencium aroma
keberhasilan kita ..."
Prang!
Prang!
Sialan.
"Maaf,
maaf. Saya akan ganti!" Cepat-cepat aku membantu pelayan yang
tergopoh-gopoh datang dan membersihkan pecahan cangkir.
Kedua laki-laki
itu ikut memerhatikanku seperti pengunjung lain di kafe ini. Salah satu dari
mereka—laki-laki yang memiliki mata tajam tidak sengaja bersitatap dengan
mataku.
Damn!
Detik kemudian
laki-laki itu seketika terbelalak.
"Bukankah
itu dia?!" serunya sembari menunjukku.
Aku segera
berlari keluar kafe. Mengabaikan jeritan para pengunjung yang menyusul sebuah
suara tembakan. Melupakan fakta bahwa aku belum membayar kopi dan mengganti
cangkir yang kupecahkan itu. Ah, siapa pula yang masih peduli kalau ada
tembakan pistol dari dalam kafe?
"Kejar,
bodoh!" Lamat-lamat aku mendengar umpatan salah satu dari mereka.
Jemariku meraba
bagian dalam jaket kukenakan ini. Pistol. Dan rasanya pistol ini penuh dengan
peluru. Aku menyeringai.
Ini
akan seru. Akan kutunjukkan sebuah pertahanan diri agar aku tidak benar-benar
menjadi santapan kedua psikopat sinting itu. []
---
Cerita ini
dibuat untuk memenuhi tantangan
menulis #nguping
dari Kak Jia Effendie.
0 comments:
Post a Comment