Aku akan
membagikan sedikit rahasia kecil untukmu.
Mungkin kau
tidak akan percaya. Baik, kuberi tahu saja; sebetulnya ada banyak makhluk ajaib
(atau tepatnya; aneh) di bumi ini.
Termasuk aku.
Keanehanku
adalah, aku bisa mengubah diriku menjadi burung phoenix. Terdengar menggelikan?
Aku juga menganggap seperti itu, sebelum aku secara tidak sengaja mengubah
diriku menjadi phoenix di tengah-tengah pelajaran matematika di sekolah.
Untungnya aku
duduk di pojok belakang dan tidak ada yang memperhatikanku.
Tidak, tidak.
Aku tidak akan membagikan cerita-cerita keren mengenai petualangan dan
kehebatanku seperti di novel-novel yang kau baca.
Aku hanya ingin
menyampaikan sebuah kisah mengenai gadis yang kutemui.
***
Aku melihatnya lagi.
Dua hari yang
lalu saat aku mencari beberapa kayu bakar, aku melihatnya menggantungkan kertas
ke pohon harapan di dekat hutan. Lalu, ia berlari kecil ke arah yang berlawanan
denganku. Ia mengangkat gaun panjangnya sampai ke bawah lutut. Kurasa gadis itu
tidak melihatku.
Sore ini, gadis
itu duduk termenung di bawah pohon pinus dekat sungai. Gadis bergaun
merah muda itu duduk di atas batu, membelakangiku. Ia menatap ke riak
sungai jernih di hadapannya.
Yang membuatku
terpana, gadis itu punya tanduk rusa di kepalanya.
Untuk sesaat,
kupikir aku salah lihat. Aku mengedipkan mata beberapa kali, lalu aku sadar
kalau itu sungguhan.
Gadis bertanduk
rusa.
Dengan perlahan,
aku melangkahkan kaki menuju gadis itu. Aku berusaha mengendap-endap tanpa
menimbulkan suara. Tapi, bahkan sebelum melihatku, ia sudah beranjak dari duduknya.
---
Hari ini, aku melihatnya sedang duduk di
antara banyak bunga matahari. Sesekali ia tampak menyentuh bunda-bunga itu
pelan, lalu termenung kembali.
Aneh sekali.
Alih-alih beranjak saat aku duduk di sebelahnya, gadis itu justru menoleh. Dan
pandanganku langsung tertuju pada matanya yang sayu. Oh, ini kali pertama aku
berhadapan dengannya. Kulitnya putih bersih. Rambutnya dikepang ke depan,
warnanya perpaduan antara cokelat dan ungu—membuatku bertanya-tanya apakah itu
warna asli.
“Aku
senang bertemu orang yang sama-sama unik seperti diriku,” celetukku.
Beberapa detik
sunyi. Uh, aku tidak heran. Mungkin saja gadis itu menganggapku sinting atau
apa, karena aku sok kenal padanya.
“Aku memang
aneh. Kau ada masalah dengan itu?” balasnya ketus.
Aku terkekeh
geli. “Tunggu. Aku bilang unik, bukan aneh. Itu dua hal yang berbeda makna.”
Gadis itu diam
saja. Ia hanya menatap ke bunga-bunga yang bahkan sedang tidak berbicara
padanya.
Aku berdeham.
“Ehm. Aku animagus—bisa mengubah diriku menjadi burung phoenix.”
Ia tidak
menyahut sedikit pun.
“Omong-omong,
namaku Felix. Kau?” tanyaku. Aku tetap bersikeras bercakap-cakap dengannya.
Tidak ada jawaban juga, aku berkata lagi, “Aku pernah melihatmu menggantungkan
kertas di pohon harapan. Memangnya, apa yang kau inginkan?”
Gadis itu
menghela napas, lalu menunduk. “Aku benci punya tanduk rusa ini," akhirnya
ia bersuara. "Aku tampak aneh.”
“Kau tidak
aneh."
“Kau dengan
mudah tampak seperti manusia biasa, tapi aku tidak.”
Kali ini aku
yang termangu.
Ia tampak
mengabaikan kebisuanku. “Aku peri tanduk rusa. Kaumku menjaga keseimbangan alam
daerah ini. Kau tahu, sebetulnya peri tanduk rusa perempuan biasanya hanya
mempunyai tanduk kecil. Tapi aku menjadi pemimpin para peri tanduk rusa.
Akhirnya aku mendapatkan ini,” ia memegangi tanduknya yang—menurutku—tampak
berkilau ditimpa sinar matahari senja.
“Apakah tandukmu
selalu muncul?”
“Aku bisa
menyembunyikannya, tapi itu jika suasana hatiku normal atau gembira. Ketika
sedih, marah, atau yang menggangguku, maka tanduk ini akan muncul. Begitu
besar. Bahkan cabangnya lebih banyak dari pohon-pohon di sini. Sulit sekali
mengatur kemunculan tanduk ini.” Gadis itu tampak semakin sedih.
“Begitu,” aku
mengangguk-angguk. Untuk beberapa lama, kami berua sama-sama diam. Lalu, aku
berkata, “Baik. Aku tidak tahu apa ini akan membantumu. Tapi kuharap besok kau
datang ke alun-alun Drosia.”
Gadis itu
mengerutkan kening.
“Datang saja,”
bujukku.
Aku hampir
memunculkan senyum lebarku ketika gadis itu mengangguk. Jangan bertanya, aku
hanya tidak mau ia mengira aku sedang bercanda.
Eh, tapi aku
memang bisa membuat lelucon untuknya. Mungkin kapan-kapan.
Ups.
Sebelum gadis
itu bersiap pergi, aku menanyakan satu hal yang masih membuatku penasaran.
“Siapa namamu?”
“Elafia.”
---
Elafia benar-benar datang. Kali ini, tanpa
tanduk rusa di kepalanya.
Aku langsung
menariknya ke depan kumpulan anak-anak. Aku biarkan Elafia memperhatikan
mereka.
Dulu, aku bagian
dari mereka juga. Aku besar di Drosia dan aku hapal setiap sudut desa ini, termasuk
jalan-jalan pintas tersembunyi yang kau perlukan kalau-kalau kau ketahuan
mengambil bubuk kopi milik perkebunan.
Jangan salah,
sekali mencobanya, kau pasti akan ketagihan.
Drosia yang dulu
lebih indah dari ini. Terutama ketika musim semi. Bangunan dan rumah-rumah di
sini dipenuhi tanaman dan banyak bunga yang akan membuatmu betah berlama-lama
memandanginya. Lalu anak-anak akan bermain dengan ceria setelah sebelumnya
mengurung diri di rumah karena salju yang menyelimuti desa. Air mancur di tengah
desa—yang didesain sendiri oleh seorang anak laki-laki yang baru berumur
sembilan tahun—juga akan menyala kembali.
Bukan aku, kok.
Aku tahu kau berpikir itu aku. Tenang saja, aku tidak pernah menyombongkan
diri. Laki-laki itu pamanku, saat ia masih kecil.
“Desa ini pernah
hancur karena gempa yang melanda setahun lalu,” kataku.
Elafia
menolehkan kepalanya ke arahku. “Ya, itu saat peri tanduk rusa dalam
perseteruan.” Ia mengangguk pelan. “Kupikir saat itu alam menujukkan murkanya,”
gumamnya sedih.
“Mereka
kehilangan banyak hal. Tapi lihat. Perhatikan binar ceria mata anak-anak itu.
Mereka tertawa. Mereka bahagia. Kau juga bisa seperti itu. Lagipula, dengan
menjadi pemimpin, kau dianggap mampu. Kau dipercaya. Bukankah itu suatu
kehormatan sekaligus tugas mulia?
“Tidak ada yang
sempurna di dunia ini, Elafia. Tapi kau bisa membuat hidupmu seakan sempurna
dengan rasa bahagia dan syukur yang kau miliki.”
Elafia diam.
Ah, apakah aku
salah? Aduh, bagaimana jika ia menganggapku sok ikut campur urusannya?
Tapi, Elafia
lalu tersenyum. Bibir mungilnya yang biasanya tampak datar, kali ini
sudut-sudutnya terangkat ke atas. “Aku mengerti.”
Aku tersenyum
puas. Ternyata aku hebat dalam hal seperti ini. Bagaimana kalau aku menjadi
psikolog?
“Elafia, aku
rasa aku harus mengatakan ini padamu,” ujarku tiba-tiba.
Kedua mata
Elafia memandangiku penuh tanya, menungguku bicara.
“Desa ini memang
cantik. Tapi aku menemukan sesuatu yang lebih cantik darinya.” Aku diam
sejenak. “Kau tau apa itu? Kau.”
Aku melihat
pipinya memerah. Lucu sekali. Seperti tomat yang masak di kebunku.
“Kau tahu
kenapa? Karena aku tahu kecantikanmu bukan hanya dari parasmu, tapi juga
hatimu,” bisikku.
Oh, lihat, pipi
bulat Elafia semakin merah. Boleh tidak, ya, kalau aku mencubitnya? []
0 comments:
Post a Comment