Running Away

Aku suka membaca. Benar-benar suka. Walaupun, intensitasnya naik turun berdasarkan kesibukan dan hal lain-lain. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa tolol karena kadang membaca aku jadikan sebagai ... pelarian.

Saat SMA, aku hanya membaca buku-buku yang menarik minatku. Genre yang aku pilih hanya itu-itu saja, dan minatku masih seputar minat children and middle ages pada umumnya: yang berbau-bau fantasi, dan sesekali novel ringan ala anak SMA. Cukup sulit juga menemukan teman yang sama-sama suka genre fantasi saat itu, meskipun ya, ada. Memasuki kuliah—khususnya ketika aku semakin naik ke semester atas—variasi bacaanku meluas, namun tetap dalam ranah fiksi. Aku menjadi suka membaca novel-novel klasik, baik itu dari penulis Indonesia ataupun sastra kanon dunia dari negara lain. Aku mencoba membaca novel-novel berbahasa asing. Aku membaca buku-buku yang lebih ‘berisi’ dan serius, tidak hanya sekadar bacaan menghibur yang bisa kuselesaikan dalam beberapa jam saja. Apakah aku tetap membaca novel-novel young adult romance yang ringan dan menghibur? Ya, tentu saja. (Apapun, asal bukan horor, aku oke-oke saja.)

Nah, buruknya begini. Sesekali, aku berada dalam titik jenuh; lagi-lagi hal yang serupa terjadi. Atau, aku menghadapi situasi rumit yang tidak bisa kuselesaikan saat itu juga. (Bahkan meskipun usiaku sudah berada di kepala dua atau ada fakta bahwa aku adalah anak pertama dalam keluargaku, aku belum bisa mengatakan bahwa aku adalah orang yang dewasa.) Kebiasanku untuk menenangkan pikiran adalah 1) makan es krim 2) membaca dan terus membaca sampai berjam-jam kemudian. Membaca sampai aku perlu ditarik dari dunia fiksi di hadapanku. Membaca berbagai macam buku sampai aku lupa apa saja yang sudah kubaca kemarin. Membaca sampai aku bisa menghilangkan luapan emosi apapun yang kurasakan.

Itu bukan sesuatu yang bagus. Aku bahkan perlu mengingatkan diri sendiri untuk tidak keterlaluan dan tetap menambatkan diri ke dunia nyata. Aku perlu ingat bahwa ada yang harus kuhadapi. Bahwa ada yang perlu kuselesaikan.

Dan aku tidak bisa lari begitu saja.

Bukankah begitu?

(Ya, meskipun tidak semudah itu.)

0 comments:

Post a Comment