Rahasia

Coba kamu timbang badan sini, ujar teman saya sore tadi. Saya menurut, apalagi saya sudah lama tidak menimbang berat badan. Angka 43.6 mmuncul di layarnya. Wah, begitu respon saya. Ternyata, berat badan saya tidak pernah naik sejak saya SMA. Saya kira, setidaknya ada cukup peningkatan, ternyata hanya segitu-segitu saja.

Dengan berat badan segitu, ketika tadi saya berada di atas motor dalam perjalanan ke rumah, angin musim hujan bisa dengan mudahnya menggoyangkan motor hingga sedikit membuat saya oleng. Tak lama, suara ketukan hujan di atas helm merah muda yang saya pakai memenuhi telinga saya. Deras sekali. Sementara, separuh jalan sedang direnovasi sehingga jalanan cenderung menjadi sempit. Saya berhenti sebentar, menyempatkan diri memakai jas hujan, lalu berkendara lagi.

Angin masih bertiup kencang dan sesekali menggoyangkan motor. Air hujan menusuk-nusuk tulang jemari yang semakin kaku. Leher saya dingin, karena ternyata saya lupa menaikkan hoodie jas hujan yang saya pakai. Tiba-tiba, pet! Listrik di seantero jalan, rumah di kanan-kiri, padam bersamaan. Jalanan sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang masih bertarung di jalanan. Takut? Ya. Bayangkan saja, kolaborasi antara derasnya hujan, angin kencang, guntur dan petir, kegelapan, kesunyian, dan kesendirian di jalanan, seolah terjebak di sana.

Semakin mendekati rumah, saya semakin lega. Apalagi saya bahkan bisa melihat sosok keluarga saya bahkan sebelum saya benar-benar turun dari motor. Akhirnya sampai, pikir saya. Kehangatan rumah benar-benar sesuatu yang saya butuhkan. Kami sekeluarga bermain onthong-onthong bolong dan cublak-cublak suweng, tertawa sepuasnya, sebelum akhirnya adik saya terlelap tidur.

Saya jadi ingat. Ada fenomena lucu yang kadang saya temukan dalam suatu kelompok. Orang-orang tertentu, yang pekerjaannya menuntut adanya interaksi dan dukungan dari yang lain, akan lebih ‘terlihat’ dibanding mereka yang jauh lebih rajin dan tanggung jawab pekerjaannya bertipe individual. Padahal, boleh jadi, orang pertama ini memberikan lebih sedikit dari apa yang orang kedua berikan diam-diam.

Itu mungkin hanya opini saja. Tapi, bukankah memang demikian? Orang lain tidak pernah benar-benar tahu apa yang telah kita lakukan. Apa yang kita perjuangkan. Sejauh mana kita tertatih, mengiba, lalu bangkit oleh diri sendiri. Rahasia itu akan tetap menjadi rahasia di depan kebanyakan orang. 

Ada celotehan beberapa teman saya yang kadang terngiang, yang bertanya, “Kamu nggak capek?” ketika ia tahu bahwa saya selalu menaiki kendaraan selama kurang lebih 45 menit hingga satu jam. Capek, tentu saja. Tidak perlu ditanyakan, jawabannya pasti ya. Tapi, banyak teman dekat saya yang lain, saking seringnya melihat saya dan berinteraksi bersama, dia jadi lupa tentang kondisi saya. Kadang, jadi muncul penyamarataan yang tidak semestinya.

Katanya, ini bagian dari perjuangan. Benar, dan saya bersyukur. Tapi, ada kalanya saya merasa tenaga saya terkuras. Maka, jangan heran kalau saya jarang bepergian. Jarang jalan-jalan. Karena toh, saya memang hampir selalu menolak ketika diajak. Salah satu alasan yang memang berasal dari diri saya sendiri adalah, saya ingin rehat sejenak dari kegiatan beradu dengan kendaraan lain di jalan. Saya ingin di rumah saja, mengikis waktu dengan melakukan aktivitas tidak penting seperti menonton film yang sama berulang-ulang atau membaca buku. Atau sekadar menjahili adik dan berada di tengah keluarga.

Begitu saja. Sesekali, saya memang hanya perlu ketenangan.

Meskipun, salah satu impian saya adalah jalan-jalan ke banyak tempak. Kelak.

***

“Kamu memangnya nggak ada uneg-uneg apa gitu?” tanya teman saya suatu sore. Saya jawab, saya ini tipe yang perlu dipancing dulu dengan tepat sebelum bisa bercerita semuanya.

Kalau kailnya nggak tepat sasaran, otak saya nggak jalan dengan baik.

0 comments:

Post a Comment