Bertahun-tahun lalu, aku menemukan sebuah tulisan di blog yang menyebutkan hal-hal semacam buku-dan-film-yang-bisa-menemani-liburanmu. Ada banyak sekali buku dan film yang disebutkan dalam artikel itu, tapi aku hanya mengingat sedikit. Salah satunya, novel To Kill A Mockingbird karya Harper Lee yang pertama kali diterbitkan tahun 1960. Untuk beberapa lama, membaca buku tersebut hanya sekadar angan-angan saja.
Liburan semester lalu, aku kemudian tahu bahwa salah satu temanku memiliki buku tersebut. Beberapa waktu kemudian aku akhirnya berkesempatan meminjamnya, dan kini aku sudah menamatkan buku tersebut.
Aku lupa berapa lama tepatnya aku meminjam buku tersebut. Cukup lama, karena pembacaan buku itu sempat disela oleh novel-novel lain. Kemudian, minggu lalu aku melanjutkan membaca (saat itu aku baru setengah membaca isinya, kurang lebih) dan hal tersebut selesai dalam beberapa hari saja. Kali ini, aku ingin membagikan sedikit catatan—bukan resensi—mengenai novel ini, tentang secuil cerita yang menggugah kecintaanku pada para tokohnya.
Aku tidak bertanya-tanya mengapa aku sempat berhenti sejenak membaca novel ini. Alur novel ini memang tampak lambat, meskipun sebenarnya tidak juga. Jadi, To Kill A Mockingbird diceritakan melalui sudut pandang Scout—nama panggilan Jean Louis Finch. (Aku lupa berapa usia Scout pada awal novel, mungkin delapan atau sembilan tahun?) Scout memiliki seorang kakak lelaki, Jem dan ayah bernama Atticus. Dalam bab-bab awal novel, aku masih meraba-raba, apa sebenarnya isi dari novel ini? Scout lebih banyak mengajak pembaca berkenalan dengannya, dengan Jem, dengan Atticus, juga dengan lingkungan tempat tinggalnya, termasuk sekolah.
Memang mengasyikkan berpetualang dengan anak-anak: Scout, Jem, dan Dill. Saat liburan musim panas, mereka bertiga melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak-anak: bermain, melakukan hal konyol, yang diikuti dengan rasa keingintahuan besar khas anak-anak. Tentang bagaimana mereka begitu penasaran dengan Boo Radley (Mr. Arthur, nama sebenarnya), tetangga Scout dan Jem yang tidak pernah keluar rumah. Tentang bagaimana mereka berusaha mengirimkan pesan-pesan ke rumah itu, atau sekadar masuk ke halaman dan mengetuk pintu. Bahkan suatu malam mereka bertiga mengendap-endap masuk ke rumah tersebut, ketahuan oleh salah satu pemilik rumah yang kemudian menembaki secara asal dengan senapan (senapan betulan) hingga celana Jem tersangkut dan ia lepaskan begitu saja. Tapi Jem kembali lagi pada tengah malamnya, mengambil celananya, dan menemukan fakta bahwa celananya telah dijahit tangan dan terlipat rapi di sana.
Juga tentang hari-hari Scout di sekolah. Alur cerita berawal dari ketika Scout mulai masuk ke sekolah dasar. Tahun itu, mungkin kemelekhurufan belum terlalu meluas seperti saat ini. Suatu kali, Scout diminta gurunya, Miss Caroline, untuk membaca alfabet yang dituliskan besar-besar di papan tulis. Scout tidak hanya bisa menyebutkan alfabet, tapi dia memang benar-benar bisa membaca bahkan termasuk kutipan pasar saham dari koran The Mobile Register. Miss Caroline rupanya tidak menyukai hal itu, dan ia bilang pada Scout agar ayahnya tak mengajarinya lagi karena itu mengganggunya membaca. Karena cara mengajar Atticus itu keliru. Yang kupikirkan, mungkin Miss Caroline merasa Scout belum waktunya bisa membaca seperti itu. Mungkin bagi Miss Caroline, Scout masih terlalu kecil untuk memiliki kemampuan itu.
Scout sedikit berdebat dengan Miss Caroline, tetapi pada akhirnya dia memilih diam. Diam karena ia tahu telah membuat gurunya marah. Lalu Scout merenung. Scout sebetulnya tidak pernah bermaksud belajar membaca. Ia bisa membaca karena Atticus sering membacakan apa yang ia baca; Scout akan duduk di pangkuan ayahnya lalu mendengarkan. Dan aku suka ketika Scout menyuarakan pikirannya seperti ini:
Sekarang, karena aku terpaksa memikirkannya, membaca adalah sesuatu yang kukuasai dengan sendirinya, seperti belajar memasang kancing belakang bajuku tanpa melihat ke belakang atau berhasil mengikat tali sepatu sendiri. Aku tak bisa ingat kapan garis-garis di atas gerak jemarin Atticus terpisah menjadi kata-kata, tetapi dalam ingatanku, aku menatapnya semalaman, sambil mendengarkan berita hari itu, Rancangan Undang-Undang yang Disahkan menjadi Undang-Undang, buku harian Lorenzo Dow--apapun yang kebetulan dibaca Atticus ketika aku meringkuk di pangkuannya setiap malam. Sampai aku takut aku akan kehilangan kegiatan ini, aku baru sadar kalau aku belum pernah gemar membaca. Bukankan orang tak pernah gemar bernapas? (halaman 35)
Itu pemikiran polos dan jujur dari seorang anak. Itu analogi sederhana dari seorang anak, membandingkan membaca dengan bernapas. Seolah membaca sudah menjadi kebutuhan—mengakar dalam diri; bukan hanya tuntutan, atau sekadar kegemaran yang diagungkan dalam kolom 'hobi' pada biodata. Tapi, bukankan memang kepolosan dan kejujuran itu lebih bisa mengetuk hati kita?
Scout tidak hanya berdebat mengenai hal itu dengan Miss Caroline. Lama-lama, ia menjadi enggan bersekolah. Suatu malam ketika Atticus mengajaknya membaca bersama, Scout bilang bahwa ia tak enak badan dan ia tak akan sekolah lagi kalau ayahnya tak keberatan. Atticus meminta Scout bercerita, lalu Atticus berkata demikian.
"Pertama-tama," katanya, "kalau kau bisa mempelajari suatu keterampilan sederhana, Scout, kau baru bisa bergaul lebih baik dengan berbagai jenis orang. Kau baru bisa memahami seseorang kalau kau sudah memandang suatu situasi dari sudut pandangnya—" (halaman 51)
Setelah sejenak mengobrol dan Scout tetap kukuh karena ia takut tak boleh membaca bersama Atticus lagi jika ia bersekolah, Atticus mengajaknya berkompromi.
"Kau tahu artinya kompromi?" tanyanya."Membengkokkan hukum?""Bukan, kesepakatan yang dicapai dengan sama-sama mengalah. Caranya begini," katanya. "Kalau kau mengalah dan mengakui bersekolah itu perlu, kita akan terus membaca setiap malam setiap biasa. Setuju?" (halaman 53)
Tentu saja Scout setuju. Itu yang diinginkannya—membaca bersama ayahnya setiap malam. Membaca di pangkuannya sampai ia mengantuk.
(foto: theodysseyonline.com)
0 comments:
Post a Comment