Membaca: Atticus, Jem, dan Scout di Maycomb County (2)

Aku jatuh cinta dengan Atticus.

Benar-benar jatuh cinta.

Kalau aku ingat-ingat kembali, tokoh fiktif yang terakhir kali benar-benar aku sukai adalah Scarlet O'Hara dalam film Gone with the Wind. (Sayangnya aku belum membaca bukunya.) Ya, Scarlet memang super keras kepala, egois, dan sederet sifat lain yang membuat banyak orang tidak menyukainya. Bahkan menurutku karakter itulah yang membuatnya 'kehilangan' di akhir cerita. Tapi, di balik itu, ada keistimewaan dalam diri Scarlet, seperti bagaimana tangguhnya ia untuk bekerja keras dan meminta adik-adiknya melakukan hal yang sama ketika keluarga mereka mengalami kesulitan finansial karena konflik perang, atau ketika Scarlet mau mengurus Melanie selama berhari-hari saat Melanie akan melahirkan (sementara ada fakta bahwa Melanie adalah istri dari lelaki yang dicintai Scarlet). Scarlet tidak sempurna, karakternya tampak begitu nyata--seperti manusia pada umumnya. Tapi itulah yang membuat aku kagum dengannya (sekaligus sebal).

Bagaimana dengan Atticus Finch?

Atticus itu... mengagumkan. Aku tidak bilang ia sempurna. Tidak. Aku lebih-lebih jatuh cinta terhadap cara Atticus bersikap pada anak-anaknya, Scout dan Jem.

Scout mendeskripsikan Atticus sebagai pria tua hampir 50 tahun, lebih tua dari usia rata-rata ayah teman-temannya di sekolah. Beberapa kali, Scout memperoleh komentar pedas orang lain tentang ayahnya. Salah satunya, Miss Caroline yang mengkritik cara mengajar Atticus, lalu ditanggapi secara tenang oleh Atticus (baca: Membaca: Atticus, Scout, dan Jem di Maycomb County (1)) ketika Scout melaporkannya padanya.

Kemudian, pada suatu waktu, Bibi Alexandra--adik Atticus--mengomentari cara berpakaian Scout. Scout memang lebih suka memakai pakaian overall (setelan baju dan celana), sementara menurut Bibi Alexandra, perempuan harus memakai rok. Bibi Alexandra berkata bahwa Scout "seharusnya menjadi cahaya mentari dalam kehidupan ayahnya yang sunyi" dan "berperilaku seperti berkas cahaya, bahwa Scout dilahirkan baik-baik, tetapi tumbuh semakin buruk setiap tahun". Scout merasa tersakiti dan ketika ia mengobrol dengan Atticus, beginilah jawaban Atticus yang dipaparkan oleh Scout.

"... dia berkata bahwa sudah ada cukup banyak cahaya matahari dalam keluarga kami dan aku boleh melanjutkan kegiatanku, dia tidak berkeberatan dengan aku yang seperti ini."

Menurutku, itu jawaban yang sangat manis dari seorang ayah. Atticus tidak pernah menggunakan emosi sedikit pun pada anak-anaknya. Ia mengajarkan anak-anaknya lewat cara-cara halus tapi berguna, pun ketika ia meminta Jem bertanggung jawab karena ia dengan sengaja merusak taman seorang wanita tua. Padahal Atticus juga tahu bahwa Jem melakukan itu semata-mata karena wanita tua itu menghina Atticus, dan Jem tidak terima. Tapi begitulah Atticus, ia tidak pernah mengajari anaknya untuk mendendam. Sekali pun tidak.

Bahkan kadang Atticus menanggapi sesuatu dengan tenang dan lucu ketika seseorang mengancamnya.

Atticus selalu menanamkan nilai-nilai yang baik pada anak-anaknya. Tentang menjadi diri mereka sendiri, tentang menghormati dan menghargai orang lain, tentang berlapang dada, dan sederet hal lainnya.

Oke. Kalau aku memaparkan semua detailnya di sini, tidak akan menarik ketika kalian membaca bukunya.

Lalu, bagaimana dengan Scout dan Jem? Mereka juga akan membuat kalian jatuh cinta, percayalah. Plot ketika Scout masuk ke tengah-tengah antara Atticus dan sekelompok lelaki yang berkonflik dengan Atticus--dengan niat untuk membantu ayahnya--kemudian mengobrol dengan mereka, dengan cara khas anak-anak, dan pada akhirnya benar-benar membuat gerombolan itu pergi.. Itu benar-benar menghangatkan perasaan. Juga ketika Jem mati-matian melindungi Scout yang berada dalam bahaya, meskipun ia tahu ia hanya sekadar anak-anak, itu juga menunjukkan betapa kuatnya ikatan di antara mereka.

Maka; bacalah, dan jatuh cintalah.

0 comments:

Post a Comment