Pulang


Kamu sedang dalam perjalanan pulang.

Rintik gerimis masih berlomba turun. Kamu berdiri di tepi jalan, tanpa payung atau peneduh apapun. Tas ransel hitam bersandar di punggungmu, berharap bisa menahan laju air agar tak membasahi apapun yang ada di dalamnya.

Kamu mengamati lalu lalang kesibukan di depanmu. 

Satu dua kendaraan yang lewat tak sengaja membuat kecipak genangan air hujan memercik ke arah sepatu kets biru tua yang masih menjadi favoritmu. Bercak kecokelatan terlihat. Kamu mundur perlahan. Namun, kamu tetap setia mengamati sekitarmu.

Kamu menunggu.

Hembusan angin di tengah gerimis membuatmu menggigil pelan dan merapatkan jaket. Lambat laun, tirai rinai dikalahkan derasnya hujan. Lalu lalang di depanmu berlomba-lomba; mereka ingin pulang.
Kamu hampir menyerah.

Tak ada tempat berlindung yang bisa menaungimu. Tak ada kayu bakar dan korek api yang bisa bersatu menjadi kehangatan untukmu. Temanmu hanyalah sepi; ia ada, dengan asa yang niskala. Ia adikara, dan perlahan memadamkan satu-satunya hal yang membuatmu bertahan:
        harapan.

Kamu yakin bahwa apa yang kamu tunggu akan datang.

Ini tahap terakhir dalam penantianmu. Kamu sebelumnya telah mempersiapkan berbagai hal untuk ini. Setelah ini, bahagiaku akan tiba, katamu.

Kamu siap atas esok hari, lusa, dan selamanya.

Hatimu bergetar. Kedua sudut bibirmu tertarik ke atas membentuk senyuman. Ia akhirnya tiba.

Kamu memintanya berhenti. Dengan segala bekal yang kamu punya, kamu berkata,
       "Kamu, rumahku. Dan aku pulang kepadamu."

... pintu rumah yang kamu tuju terbuka lebar, melepaskan suara tawa bahagia yang bisa kudengar.


(foto: holidayjunction.com/node/607)

2 comments:

  1. rumah memang tempat terbaik. tempat paling nyaman... untuk pulang.

    ReplyDelete