Rain: Kamu Masih Ingat?

Kau masih ingat, saat pertama kali kita bertemu? Ah, mungkin tidak. Karena saat itu aku yang benar-benar memerhatikanmu. Kau mungkin hanya menganggapku sebagai orang lain. Begitu saja.

pict: basistka.deviantart.com
Ketika kita bertemu untuk kedua kalinya, diam-diam aku tersenyum senang. Bukan apa-apa, aku hanya berpikir kau ini menarik. Benar, itu pandangan awalku tentangmu.

Biasanya, pandangan pertama itu menipu. Tetapi tidak denganmu. Karena nyatanya kau benar-benar menarik. 
Kau tidak seperti kebanyakan pria lain yang kutemui. Kau sopan sekali, dan itu tidak dibuat-buat. Kita pernah berjalan beriringan bersama, dan kau otomatis berjalan di sisi yang lebih dekat dengan jalan—membuatku merasa terlindungi. Kau mengingatkanku pada Nishimura Kazuto saja. Eh, kau pasti tidak tahu soal sosok-pria-keren-dalam-novel-Winter in Tokyo itu, ya?

Aku ingat, hari itu kau tiba-tiba marah padaku. Aku tidak mengerti, kenapa seorang Danny bisa menjadi sesensitif ini? Tapi lama-lama kau membuatku takut, sungguh. Aku hanya bisa bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa salahku? Kemudian tiba-tiba kau dan teman-teman lain datang ke rumah, melemparkan telur, tepung, dan krim padaku. Aku bahagia hari itu.

Tapi kau kadang menyebalkan. Suka beradu mulut denganku dan usil. Suka mengerjaiku, membuatku kesal. Kau juga terkadang terlalu cuek.

Namun, kau ini tetap teman yang baik.

Sampai suatu hari ada perasaan lain yang muncul padaku—perasaan lebih dari seorang teman atau sahabat.
 
Aku tidak tahu tepatnya sejak kapan. Tiba-tiba saja aku merasa tidak suka kau dekat dengan dia, perempuan itu. Perempuan itu jauh lebih cantik daripada aku. Berasal dari keluarga yang terpandang, mudah bergaul, baik, tidak mudah marah—apa kurangnya? Semua itu membuatku merasa seperti itik buruk rupa saja. 

Oh, bukan ‘seperti’, tapi aku memang benar- benar itik buruk rupa.

Dan ketika beberapa waktu yang lalu, saat aku sedang mengawasimu, (sialnya) aku melihat kau merangkul bahu perempuan itu. Merangkul bahunya dari belakang, hati-hati sekali, seolah kau takut menyakitinya.

Dan kau tahu apa yang kulakukan? Membuang pandanganku ke arah lain dan bergegas pulang ke rumah. Membatalkan diri untuk ikut pergi bersamamu, perempuan itu, dan teman-teman lain. Memberi alasan-alasan pada kalian bahwa aku tidak bisa ikut pergi.

Hari-hari sesudahnya, ketika kusadari kau sekarang lebih sering bercanda dan bercakap-cakap dengan perempuan itu, aku mulai berpikir untuk menjauh saja darimu. Tidak berlebihan, kan? Karena melihatmu tertawa bersama perempuan itu, kau berarti merasa nyaman dengannya.

Tetapi kau ternyata peka juga, ya? Kau sadar aku menjauhimu.

“Kau menciptakan jarak di antara kita. Kau membangun tembok besar transparan antara kau dan aku. Ada apa sebenarnya, Rain? Ceritakan masalahmu,” pintamu saat itu.

Kemudian aku pura-pura tertawa, dan berkata, “Kau bicara apa? Badanku kecil, tidak mampu membuat tembok,” gurauku. Gurauan yang penuh paksaan. “Tidak ada apa-apa, Dan. Sungguh.”

Sialnya, entah ada apa dengan skenario Tuhan, kau malah tidak sengaja membaca satu lembar tulisan yang kusobek dari bukuku. Tulisan tentangmu. Benar, aku tidak menuliskan namamu, tapi aku yakin kau tahu bahwa itu tulisan mengenai dirimu. Bodohnya aku.

Kau terus bertanya padaku. Tentu saja aku mengelak. Tapi kau tidak menyerah untuk tetap memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

“Itu hanya sebuah tulisan, Danny. Kau tahu aku suka menulis, kan? Itu hanya cerita, fiksi, tidak nyata. Kubuat saja tokohnya mirip denganmu, karena laki-laki paling aku mengerti karakternya adalah kau.”

“Tapi aku tahu kau suka menulis tulisan yang terinspirasi dari kehidupanmu dan sekitarmu, Rain.”

“Hanya inspirasi, kan? Sometimes I’m not what I write, anyway.”

Ada jeda yang cukup panjang. “Kalau itu benar aku, aku bersedia menjauh dari perempuan itu,” ujarmu sebelum kau beranjak pergi.

Bodoh. Tidak bisa seperti itu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya. Bisa saja kau benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu dan hanya merasa tidak enak pada sahabatmu ini. 

Aku mencintaimu.

Namun aku baik-baik saja seperti ini. Aku nyaman. Bukankah dulu juga ada saat-saat aku tidak mengenalmu, dan aku baik-baik saja? Maka ketika aku berusaha membuang jauh-jauh perasaan ini, pasti semuanya akan baik-baik saja. Pasti.

Tapi aku tidak bisa berbohong. Jika ada yang bertanya padaku, hal apa yang tersulit kulakukan saat ini, maka jawaban yang sejujurnya adalah; berhenti mencintaimu.

0 comments:

Post a Comment