Kau
masih ingat, saat pertama kali kita bertemu? Ah, mungkin tidak. Karena saat itu
aku yang benar-benar memerhatikanmu. Kau mungkin hanya menganggapku sebagai orang lain. Begitu saja.
Ketika
kita bertemu untuk kedua kalinya, diam-diam aku tersenyum senang. Bukan
apa-apa, aku hanya berpikir kau ini menarik. Benar, itu pandangan awalku
tentangmu.
Biasanya, pandangan pertama itu menipu. Tetapi tidak denganmu. Karena nyatanya kau benar-benar menarik.
Aku ingat, hari itu kau tiba-tiba marah padaku. Aku tidak mengerti, kenapa seorang Danny bisa menjadi sesensitif ini? Tapi lama-lama kau membuatku takut, sungguh. Aku hanya bisa bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa salahku? Kemudian tiba-tiba kau dan teman-teman lain datang ke rumah, melemparkan telur, tepung, dan krim padaku. Aku bahagia hari itu.
Tapi kau kadang menyebalkan. Suka beradu mulut denganku dan usil. Suka mengerjaiku, membuatku kesal. Kau juga terkadang terlalu cuek.
Biasanya, pandangan pertama itu menipu. Tetapi tidak denganmu. Karena nyatanya kau benar-benar menarik.
Kau
tidak seperti kebanyakan pria lain yang kutemui. Kau sopan sekali, dan itu
tidak dibuat-buat. Kita pernah berjalan beriringan bersama, dan kau otomatis
berjalan di sisi yang lebih dekat dengan jalan—membuatku merasa terlindungi.
Kau mengingatkanku pada Nishimura Kazuto saja. Eh, kau pasti tidak tahu soal sosok-pria-keren-dalam-novel-Winter
in Tokyo itu, ya?
Aku ingat, hari itu kau tiba-tiba marah padaku. Aku tidak mengerti, kenapa seorang Danny bisa menjadi sesensitif ini? Tapi lama-lama kau membuatku takut, sungguh. Aku hanya bisa bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa salahku? Kemudian tiba-tiba kau dan teman-teman lain datang ke rumah, melemparkan telur, tepung, dan krim padaku. Aku bahagia hari itu.
Tapi kau kadang menyebalkan. Suka beradu mulut denganku dan usil. Suka mengerjaiku, membuatku kesal. Kau juga terkadang terlalu cuek.
Namun,
kau ini tetap teman yang baik.
Sampai
suatu hari ada perasaan lain yang muncul padaku—perasaan lebih dari seorang
teman atau sahabat.
Aku
tidak tahu tepatnya sejak kapan. Tiba-tiba saja aku merasa tidak suka kau dekat
dengan dia, perempuan itu. Perempuan
itu jauh lebih cantik daripada aku. Berasal dari keluarga yang terpandang,
mudah bergaul, baik, tidak mudah marah—apa kurangnya? Semua itu membuatku
merasa seperti itik buruk rupa saja.
Oh, bukan ‘seperti’, tapi aku memang
benar- benar itik buruk rupa.
Dan
ketika beberapa waktu yang lalu, saat aku sedang mengawasimu, (sialnya) aku
melihat kau merangkul bahu perempuan itu. Merangkul bahunya dari belakang,
hati-hati sekali, seolah kau takut menyakitinya.
Dan kau
tahu apa yang kulakukan? Membuang pandanganku ke arah lain dan bergegas pulang
ke rumah. Membatalkan diri untuk ikut pergi bersamamu, perempuan itu, dan teman-teman lain. Memberi alasan-alasan pada
kalian bahwa aku tidak bisa ikut pergi.
Hari-hari
sesudahnya, ketika kusadari kau sekarang lebih sering bercanda dan
bercakap-cakap dengan perempuan itu, aku mulai berpikir untuk menjauh saja
darimu. Tidak berlebihan, kan? Karena melihatmu tertawa bersama perempuan itu,
kau berarti merasa nyaman dengannya.
Tetapi
kau ternyata peka juga, ya? Kau sadar aku menjauhimu.
“Kau
menciptakan jarak di antara kita. Kau membangun tembok besar transparan antara
kau dan aku. Ada apa sebenarnya, Rain? Ceritakan masalahmu,” pintamu saat itu.
Kemudian
aku pura-pura tertawa, dan berkata, “Kau bicara apa? Badanku kecil, tidak mampu
membuat tembok,” gurauku. Gurauan yang
penuh paksaan. “Tidak ada apa-apa, Dan. Sungguh.”
Sialnya,
entah ada apa dengan skenario Tuhan, kau malah tidak sengaja membaca satu
lembar tulisan yang kusobek dari bukuku. Tulisan tentangmu. Benar, aku tidak
menuliskan namamu, tapi aku yakin kau tahu bahwa itu tulisan mengenai dirimu. Bodohnya
aku.
Kau
terus bertanya padaku. Tentu saja aku mengelak. Tapi kau tidak menyerah untuk
tetap memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
“Itu
hanya sebuah tulisan, Danny. Kau tahu aku suka menulis, kan? Itu hanya cerita,
fiksi, tidak nyata. Kubuat saja tokohnya mirip denganmu, karena laki-laki
paling aku mengerti karakternya adalah kau.”
“Tapi
aku tahu kau suka menulis tulisan yang terinspirasi dari kehidupanmu dan
sekitarmu, Rain.”
“Hanya
inspirasi, kan? Sometimes I’m not what I
write, anyway.”
Ada jeda
yang cukup panjang. “Kalau itu benar aku, aku bersedia menjauh dari perempuan
itu,” ujarmu sebelum kau beranjak pergi.
Bodoh. Tidak bisa seperti itu.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu yang sebenarnya. Bisa saja kau benar-benar
jatuh cinta pada perempuan itu dan hanya merasa tidak enak pada sahabatmu ini.
Aku mencintaimu.
Namun aku baik-baik saja seperti ini. Aku nyaman. Bukankah dulu juga
ada saat-saat aku tidak mengenalmu, dan aku baik-baik saja? Maka ketika aku
berusaha membuang jauh-jauh perasaan ini, pasti semuanya akan baik-baik saja.
Pasti.
Tapi aku
tidak bisa berbohong. Jika ada yang bertanya padaku, hal apa yang tersulit
kulakukan saat ini, maka jawaban yang sejujurnya adalah; berhenti mencintaimu.
0 comments:
Post a Comment