
“Wasn’t that the point of life? To find someone to share it with? And if you got that part right, how far wrong could you go? If you were standing next to the person you loved more than everything else, wasn’t everything else just a scenery?”
(Rainbow Rowell dalam “Landline”)
Obrolan soal finding
someone atau laki-laki versus perempuan itu selalu ada untuk
diperbincangkan. Kali ini saya tiba-tiba kangen mengisi blog ini, sekaligus
tergelitik dengan dialog yang terjadi di dekat saya—yang mana saya ikut mendengarkannya,
menimpali sedikit, tapi selebihnya menjadi pemerhati saja.
Dialog tersebut berisi pembahasan mengenai sebuah tulisan
yang didapat dari sebuah media (saya sendiri kurang tahu sumber tepatnya).
Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa apabila seorang suami menyadari peran
dan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga, mengasihi keluarganya, maka
Allah akan memudahkan segala urusannya untuk keluarganya. Alkisah ada seorang
suami yang hanya mempunyai sedikit uang, lalu ia bertanya pada istrinya, apa
yang ia inginkan hari ini. Istrinya ini ingin sekali punya cincin, tapi ia
sadar kalau uang suaminya dipakai buat beli perhiasan, itu akan menghamburkan
uang saja. Tetapi si suami kekeh membelikan istrinya hadiah. Ternyata,
keputusan suami ini sama sekali tidak salah, karena tepat setelah membelinya,
sang suami memperoleh rezeki dari profesi yang ia lakoni.
Cerita tersebut dituturkan lalu dikaitkan dengan peristiwa
dan fakta yang ada di sekitar lingkungan. Dari apa yang saya dengar, berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang terjadi, hal tersebut benar adanya. Lalu muncul
cerita beda versi, yang intinya tetap sama. Muncul lagi cerita yang
berkebalikan, yakni ketika laki-laki melepas peran dan tanggung jawabnya, maka
Allah akan mengambil apa yang sebenarnya bisa ia dapatkan untuk keluarganya.
Singkatnya, bakal seret.
Saya percaya itu akan benar-benar terjadi. Saya ingat sebuah
video dari Sudjiwo Tedjo, yang mengatakan bahwa menghina Tuhan itu mudah
banget. Khawatir besok nggak bisa makan itu termasuk hinaan pada Tuhan. Padahal
yang kita perlukan adalah kepercayaan terhadap-Nya. Bahkan kalau kita berdoa,
maka Allah akan memberikan apa yang kita butuhkan, apa pun itu.
Saya termasuk orang yang berpaham bahwa dalam keluarga,
laki-laki itu memang harus ada di depan. Karena ia lah imamnya. Ia lah penuntun
keluarganya. Ia yang bisa membimbing. Maka, bukankah sewajarnya usaha dan
kepercayaan terhadap-Nya itu mutlak?
(Oke. Saya seolah-olah kayak lagi bijak aja ...)
Anyway, kalau ada orang yang sudah membaca buku yang
kutipannya saya sertakan di atas, pasti bisa tahu bahwa apa yang saya baca itu bertolak-belakang
dari prinsip saya. Analisis soal gender atau feminisme dalam novel tersebut
pasti bakal jadi obrolan yang panjang karena novel tersebut dengan cemerlang
menunjukkan bagaimana perempuan bisa melakukan apa yang ia mau—bahkan menjadi
kepala keluarga sementara suaminya menjadi bapak rumah tangga—dengan konflik
yang dituturkan dengan rapi. Tetapi, saya mengakui itu novel yang bagus. Saya
bukan orang yang membatasi bacaan saya, dan saya percaya setiap buku punya
“nilai”nya tersendiri.
Nah, tapi saya bukan mau memberi review buku tersebut, jadi ... kalau penasaran, sila baca. :D
(foto: tumblr.com)
0 comments:
Post a Comment