Jarak

Kamu pernah berkata, “Menurut Joko Pinurbo, jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.”

Saat itu, aku hanya bisa mengangguk. Aku tak paham bagaimana isi bacaan-bacaanmu. Yang aku lahap hanyalah setumpuk buku-buku teori fisika dan jurnal berbahasa asing. Aku tak pernah peduli pada jarak, pertemuan, perpisahan, kecuali fakta bahwa ada korelasi antara jarak dengan waktu dan kecepatan. Iya, lagi-lagi teori-teori yang katanya membuatmu pening (bahkan meskipun itu teori sederhana).

Belakangan ini, kalau bisa kembali ke saat itu, aku ingin berdebat denganmu saja. Tak apa kalau kamu juga bilang bahwa jarak itu tak pernah ada. Tapi, aku akan bilang bahwa... jarak itu terasa nyata. Karena kini aku merasakannya. Dan itu sama sekali tidak menyenangkan.

Kalau dulu aku bisa memberikan kejutan dengan muncul di depan rumahmu secara tiba-tiba, kini aku hanya bisa mengetuk pintumu lewat percakapan-percakapan dunia maya. Kalau dulu aku bisa mengajakmu untuk sekadar mengobrol sambil menemaniku makan es krim (meskipun kamu tidak mau menghabiskannya), sekarang aku hanya bisa mengetikkan pesan-pesan tak jelas, lalu menghapusnya lagi--semata-mata karena ada setumpuk kebingungan yang muncul hanya karena kamu tidak di sini.

Iya, aku tahu, kamu akan datang. Kamu akan pulang. Kamu akan kembali dengan membawa senyummu, tawamu, ceriamu, dan berjuta cerita yang tak akan pernah bosan aku dengarkan.

Tapi, pada akhirnya, kamu akan pergi lagi, bukan?

2 comments:

  1. I feel you both laaah...
    Perbedaan persepsi tentang jarak. Yang satu mikirnya, jarak itu gak ada karena masih bisa berhubungan lewat dunia maya. Yang satu lagi mikirnya, tak berjarak itu artinya tatap muka langsung bukan ngobrol di dunia maya. Pernah ngerasain. Awalnya mikir, ah masih ada aplikasi ini-itu. gampang lah nanti komunikasi. Tapi lama-lama komunikasi hanya di dunia maya bikin jenuh juga. :-/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmmm, jadi penasaran dengan akhir ceritamu. :D

      Delete