Aku, Zombigaret*



Aku bermimpi. 

Dalam mimpiku, aku kesulitan beranjak dari tempat tidurku. Kepalaku terasa pening dan aku merasa sesak napas. Lalu aku memejamkan mata kembali. Baru berbaring beberapa menit, aku terbatuk-batuk.

Kupaksakan diriku turun dari tempat tidur dan mengambil minum.

Aku meraba keningku. Panas. Aku demam, rupanya.

Kulangkahkan kaki menuju meja. Aku mengulurkan tangan, meraih sebungkus rokok. Begitu aku menyalakan sebatang, aku tersenyum kecil sendiri.

Nikmat.

***

Aku bermimpi lagi.

Mama menyeretku ke dokter. Aku menjalani proses ini itu yang tidak terlalu jelas di mimpiku. Sepertinya aku dirontgen juga. Pokoknya, ketika berada di ruangan, tiba-tiba si dokter menunjukkan selembar kertas pada Mama, lalu berkata, “Kanker paru-paru dan kanker mulut.”

Aku hampir terkikik geli. Kanker? Aku baik-baik saja. Aku sehat seratus persen.

Mengabaikan percakapan Mama dan si dokter, aku keluar dari ruangan itu. Mama sempat memanggilku, dan langsung kuabaikan begitu saja.

“Jangan coba-coba merokok lagi!” teriak Mama.

Aku tertawa. Rokok itu temanku, Ma. Dia temanku. Mana mungkin aku mengabaikannya?

Kemudian tahu-tahu aku ada di kamarku sendiri. Komputerku menyala. Aku duduk di hadapannya, membaca sebuah artikel.

Gejala kanker mulut.

Pfft. Kanker lagi? Aku terkekeh. Sambil menggeleng-geleng, aku menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengebul dari mulutku, mengabur ke udara.

Ketika aku akan menyalakan batang rokok kedua, sebuah suara menyentakku.

“Senang menderita?”

Seseorang—bukan, sesuatu di sampingku menyeringai. Dia aneh. Wajahnya penuh luka. Ia sedikit membuka mulutnya, membuatku bisa melihat pembengkakan di sana. Ada bercak berwarna putih dan merah di bibirnya. Di sudut kiri bibirnya, malah ada bekas darah yang mungkin keluar dari gusinya. Beberapa giginya ompong. Lehernya pun membengkak. Ia tampak pucat ... dan menyeramkan.

“Belum puas menjadikan dirimu sepertiku?” bisiknya dengan suara serak. “Mau mati, ya?”

Zombie. Yang di depanku adalah zombie!

***

Aku membuka mata.

Aku hampir mengira ini mimpi lagi, tapi sentuhan tangan Mama di jemariku membuatku sadar; ini nyata. Aku mengerjapkan mata sesaat, lalu memandangi Mama.

“Aku mimpi aneh, Ma. Mama membawaku ke dokter, dan aku divonis kanker paru-paru dan kanker mulut,” ujarku dengan suara serak.

Mama menghentikan gerakannya. Ia menatapku dengan pandangan iba. “Itu bukan mimpi.”

“A ... pa?” bisikku.

Butiran bening luruh dari kedua sudut mata Mama. “Kamu sakit,” bisiknya tertahan. “Kamu sedang di rumah sakit, Sayang.”

Detik itu juga aku sadar bahwa aku sedang tidak berada di rumah. Tanganku diinfus. Aku tiduran di tempat tidur pasien. Bibir dan dadaku terasa nyeri. Aku batuk-batuk, lalu Mama beranjak mengambilkanku minum.

Aku menoleh ke kiri. Di dalam cermin yang ada di sana, aku melihat zombie persis seperti yang kulihat dalam mimpiku. Aku mengucek-ngucek mata, dan zombie itu meniruku. Setelah aku memandanginya lama, ia menyeringai kepadaku.

“Kau tidak mengenali dirimu sendiri?”

Apa katanya?

“Yang kau lihat ini cerminan dirimu. Aku ini kau.”

Ia bercanda, kan? Aku menunduk, memandangi tanganku sendiri. Tanganku persis tangan zombi itu. Aku meraba wajahku, dan merasakan luka yang sama seperti yang ia punyai. Mulutku juga membengkak dan ada bekas pendarahan di sana.

“Rokokmu yang membuatmu seperti ini. Kau bilang dia teman? Cih. Dia sendiri berkhianat padamu.”

Tidak. Ini pasti mimpi. Aku masih di dunia mimpi.

“Ini nyata. Selamat, kau sudah menjadi zombigaret!”

Siapapun, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini! []

foto: twitter.com/zombigaret


*) zombigaret: seorang manusia yang menjadi zombie karena merokok sangat banyak sehingga akhirnya harus hidup setengah mati
*) diikutkan dalam lomba menulis "Diary Sang Zombigaret"





0 comments:

Post a Comment