Saat berada di semester 2, aku dan teman-temanku pernah berkumpul di suatu tempat—berniat mencari lokasi salah satu kegiatan sosial (yang fokus pada anak-anak) yang ada di Semarang. Kami menghubungi kontak yang tertera, tapi sayangnya kami mendapat respon yang sangat lama, dan saat itu kami benar-benar tidak tahu tempat mana yang harus kami tuju. Pada akhirnya, kami hanya berfoto-foto dan mengobrol. Itu saja.
Niat kami saat itu sederhana: ingin sesekali menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Akhir 2015, aku berkesempatan mewujudkan harapan itu. Aku menjadi relawan pengajar Vertihori untuk program Masuk Kelas 2, sebuah gerakan yang bertujuan untuk menginspirasi anak-anak. Kegiatannya menarik, meskipun proyek itu dijalankan secara singkat—hanya satu hari bersama anak-anak. Kupikir, kenapa tidak?
Setelah diterima menjadi relawan pengajar, aku baru sadar bahwa tak ada satu pun orang yang kukenal di sana. Pengurus tidak, relawan pun tidak. Alhasil, aku benar-benar merasa seperti 'orang baru' saat berkumpul bersama-sama, sementara teman-teman yang lain paling tidak sudah mengenal satu dua orang.
Terhitung, kami hanya bertemu dan berinteraksi langsung selama dua hari. Tapi, kurasa secara keseluruhan, kami sudah semaksimal mungkin untuk menjadi dekat satu sama lain dan menyukseskan proyek tersebut bersama-sama. Dan itu menyenangkan. Aku berkenalan dengan orang-orang baru (tanpa perlu menempel dengan satu dua orang yang sudah aku kenal sebelumnya). Aku berinteraksi dengan anak-anak di kelas, mengajak mereka mengobrol soal cita-cita, bermain, lalu—yang paling anak-anak suka—membagikan jajanan. Tidak mudah memang. Ada yang mengobrol, ada yang jalan-jalan karena penasaran dengan pita warna-warni yang dibawa kakak-kakak, bahkan ada pula yang sempat bertengkar. Ada pula yang antusias, ada yang duduk tenang mendengarkan, dan ada yang pandai menghidupkan suasana kelas. Wah, rasanya jadi kembali ke masa kanak-kanak. Bukannya menginspirasi, malah rasanya aku yang terinspirasi karena keceriaan anak-anak di kelas.
Lalu, kupikir, ternyata begitulah rasanya keluar dari zona nyaman. Itu hanya salah satu cara dari sekian banyak jalan yang bisa kutempuh.
Apabila mengingat apa saja yang sudah kulakukan setelah masuk ke universitas, aku pikir aku tidak melakukan hal yang istimewa. Kesibukanku hanya seputar kuliah dan organisasi. Teman-teman yang kupunya pun hanya itu—teman sejurusan dan teman organisasi. Mungkin ditambah satu dua orang dari jurusan lain.
Aku merasa punya kesibukan, tapi lama-lama aku sadar bahwa mungkin aku hanya sedang berusaha menyibukkan diri. Lari dari hal-hal yang seharusnya bisa kucapai, tapi masih sekadar menjadi angan-angan.
Di saat temanku yang lain sudah menjejakkan kaki di tanah seberang, aku masih di kota ini. Di saat temanku mengangkat piala kemenangannya, aku cuma bisa melihat fotonya dan memberikan selamat. Di saat temanku menceritakan keaktifannya dengan kegiatan keren ini itu, aku hanya bisa mendengarkan dan mendukung.
Padahal ... sudah bukan saatnya diam dipelihara, bukan?
Keluar dari zona nyaman itu kadang menakutkan..tapi kita gak pernah tau kan kalo gak pernah nyoba? Semua ada waktunya, kalo nggak sekarang, mungkin suatu hari nanti kamu bisa juga sampai ke tanah seberang seperti teman-temanmu itu. Mungkin sekarang belom saatnya, mungkin kamu masih dipersiapkan menuju ke tanah seberang nanti. Wih, aku yo sok wibawa banget.. hahah Mudah-mudahan semua impianmu tercapai ya...
ReplyDelete