Halo, Juni

 
Selamat bertemu Juni.

Kata Pak Sapardi,
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni

Dulu, saat SMA, aku pernah mendapat tugas untuk menganalisis puisi. Waktu itu, aku dan kelompokku cenderung bingung untuk memilih puisi. Lalu, (dengan soknya) aku mengusulkan untuk memilih Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono. Kenapa aku mengusulkan itu? Serius, aku juga lupa detailnya. Mungkin karena aku berpikir bahwa puisinya keren (dan sampai sekarang aku masih berpikir demikian).

Pada akhirnya, semua teman-temanku setuju, entah karena mereka punya pemikiran yang sama denganku atau justru tidak punya ide lain lagi. Haha. Selesai menganalisis puisi, kami mempresentasikannya di depan, kemudian—seperti biasa—Ibu guru kami akan memberikan beberapa komentar untuk kami. Aku masih ingat betul bagaimana isi ucapan Ibu guru saat itu.

"Ibu nggak menyangka kalian akan memilih puisi ini. Ini puisi yang cenderung berat untuk anak SMA," lalu guru kami memaparkan analisis puisi tersebut berdasarkan apa yang beliau tahu, dan dari sumber-sumber tertentu juga—yang ternyata sangat berbeda dengan hasil analisis kami, "tapi Ibu salut dengan usaha kalian."

Kalau bagi aku pribadi, kali ini aku akan mengartikan hujan bulan juni sebagai berbagai macam hal yang perlu aku hadapi di bulan ini. Jangan terlalu serius. Aku cuma berpikir, bulan Juni adalah bulan yang seakan jadi 'peringatan' tentang banyak hal. Sudahkah aku menjadi orang yang bermanfaat? Apa yang sudah kuberikan kepada ibu, bapak, dan keluarga? Apa kabar mimpi-mimpiku? Harapan-harapan yang tertuang di dinding kamar? Sejauh apa kemajuan atas diriku di pertengahan tahun ini? Oke. List-nya mungkin akan jadi lebih panjang lagi kalau aku melanjutkannya ...

Aku yakin semua orang ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Pun denganku. Masalahnya adalah, keinginan itu seringkali hanya menjadi keinginan semata. Lalu, kapan wujud nyatanya?

Akhir-akhir ini, satu hal yang sering membuatku merasa malu sendiri adalah kerja keras dan keberanian Ibu untuk menentukan target tertentu atas tujuan-tujuannya. Oke, aku merasa seolah-olah serupa butiran debu jika dibandingkan dengan Ibu. Apalagi, aku adalah saksi atas perjuangan dan kerja keras keluarga selama ini. Karena bukan berasal dari keluarga berada, jadi makna 'kerja keras' menurut keluarga kami adalah benar-benar berjuang dari titik nol.

Benar, setiap keluarga memiliki kulturnya masing-masing. Setiap anak memiliki tanggung jawab masing-masing. Bagaimanapun juga, kita memang perlu untuk menjadi lebih baik, kan? Maka, mari jaga diri kita agar tidak terlena dengan zona nyaman, maupun dengan kemalasan-kemalasan yang kerap menyelimuti diri.

Sekali lagi, jangan terlalu serius ... Aku hanya sedang meracau tak jelas kepada diri sendiri.

Selamat bermuhasabah di bulan yang indah ini.

0 comments:

Post a Comment