Bianglala


Aku selalu suka bianglala. Tetapi, kamu tidak.

Kamu bilang, kamu selalu gugup menaiki wahana itu. Kemegahan dari bianglala tidak kamu suka. Kamu takut ketinggian. Aku tahu itu.

Meskipun begitu, aku juga tahu bahwa kamu bukan orang yang mau ditaklukan oleh rasa takutmu. Katamu, ketakutan itu untuk dihadapi, bukan dijaga. Maka, hari ini, ketika kita berdua duduk berhadapan di dalam bianglala, aku hanya tertawa kecil melihatmu menengok ke bawah dengan perlahan, lalu bertanya, "Setinggi apa kita?"

"Setinggi keberanianmu," jawabku.

Kamu menghirup napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Lalu, kamu meregangkan tubuhmu. Lama-lama, kamu menjadi lebih rileks. Sudut-sudut bibirmu tertarik ke atas, menyunggingkan senyum.

"Aku ingat ucapanmu. Kamu benar. Tidak perlu takut untuk membuka mata. Karena sejatinya, di titik-titik ketakutan itulah biasanya kita dapat melihat dunia yang belum pernah kita temui sebelumnya."

Kemudian, kita terdiam. Memandangi lautan awan di langit senja, kerumunan manusia di bawah, taman di sudut sebelah barat, juga parade yang masih berlangsung di sebelah utara. Lalu, aku balik menatapmu, yang dengan senyum jahil mulai mengangkat kameramu, memotretku yang masih terlalu terperangah kaget.

Kamu tertawa senang.

Ini sederhana; ada kamu dan aku, di sini, bersama. Namun, begitu saja, aku bahagia.

(foto: wordpress.com)

3 comments: