Sebuah Tamparan di Pom Bensin


Pernah nggak kalian merasa tertampar mengenai suatu tindakan buruk kalian ketika melihat suatu kejadian yang dialami orang lain?

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR0xM5jhE3TObxDFJVkvjWSKQnOILqdqxKRW0CySiPvXr_rL5SM
foto: sekitarunnes.com
Bagi beberapa orang, terutama yang peka terhadap lingkungan sekitar dan tahu diri, bisa jadi kerap mengalami hal tersebut. Melek terhadap keadaan di sekeliling kita itu penting, kan? Disadari atau tidak, sebetulnya kejadian di kanan-kiri kita membawa pembelajaran berharga, kalau kita mau menyadarinya.

Beberapa hari lalu, aku mampir ke pom bensin. Biasalah, antrean sore hari itu panjang. Semuanya oke-oke aja, sampai sebuah mobil datang dan antre di belakangku (iya, tuh mobil antrenya premium). Setelah antrean maju beberapa kali, yang punya mobil keluar dari antrean dan berhenti di samping motor yang lagi diisi bensinnya. Tadinya aku berpikir positif lah ya, kali aja itu mobil cuma pindah tempat antre aja, tapi ngisinya tetap sesuai antrean.

Tara! Si pemilik mobil keluar. Bapak-bapak klimis dan rapi abis. Pakai kemeja batik, celana panjang, dan sepatu hitam. Tampang-tampang orang yang seharusnya ngerti soal budaya antre, nih. 
Sayangnya (dan seharusnya aku udah duga ini sejak awal) bapak itu kemudian mengeluarkan duit, lalu mobil itu diisi duluan. Kampret banget! Bete dan kesel, dong. Motor-motor yang lain antre, eh itu mentang-mentang bawanya mobil kok malah nyerobot gitu? Kalau memang mau cepet ya antre pertamax kek.

Tahu-tahu, di belakangnya maju satu mobil lagi. Kali ini mobilnya lebih mewah. Kinclong pula. Dalam hati mikir; seriusan nih mobil kayak gini mau nyerobot antrean motor juga!?

Sesaat sebelum giliranku, kali ini pemilik mobil kinclong itu keluar. Wuih, mas-mas (yang sama berkilauannya kayak mobilnya), nih. Tinggi, putih, dan tampang orang kaya gitu deh. Pas giliranku diisi bensin, aku kepengin tanya sama mas-mas pengisi bensin, kenapa kok mobil tadi didahulukan? Tapi pikir-pikir juga, nanti kalau cari ribut gimana ya? Kalau pertanyaan yang keluar pakai nada jengkel gimana? Aku kadang kebablasan ngomong dengan nada marah kalau memang lagi sebel. Dan aku masih bete saat itu!

Sebelum aku betul-betul tanya, aku teringat satu hal. Pada hari yang sama, aku BARU AJA melakukan hal yang sama.

... mendadak tertohok.
 
Jadi, di kampus kan pada antre pengambilan buku akademik. Aku antre di belakang sendiri, depanku anak-anak jurusan lain. Di ujung depan ternyata gerombolan teman seprodiku. Aku dipanggil ke depan. Ya gitulah aku ini—dengan tampang bloon keluar dari barisan dan maju.

"Sini, langsung ambil aja sini." 

"Loh, masa gitu?"

"Udah nggak apa-apa cepetan."

Aku lihat ke belakang, barisan udah tambah panjang lagi. Mau balik ya antre tambah lama. Akhirnya aku beneran nyela antrean.

IYA, AKU PAYAH!

Habis ambil, aku langsung merasa bersalah. Mau minta maaf satu-satu, sayangnya mentalku tipis banget. Udah salah, malu buat minta maaf. Kesalahan kuadrat.

Ingat kejadian itu, perasaanku nggak karuan. Campur aduk antara bete dan merasa bego.

Akhirnya aku nggak jadi tanya sama mas-mas pengisi bensin. Tapi sebelum aku betul-betul pergi, aku nengok ke belakang. Si mobil kinclong lagi diisi bensinnya! Sementara di belakangnya motor yang antre tambah banyak.

Unek-unek rasanya BANYAK banget.

Kalau mau bertindak yang betul, harusnya tadi aku negur si bapak dengan nada sopan. Atau paling nggak tanya ke pengisi bensin lah, kenapa si mobil didahulukan. Pengisi bensin itu kan punya hak juga buat nolak ngisi duluan, kayak kejadian Mbak Florence itu. Masnya bisa minta si pemilik mobil antre dengan tertib.

Memang begitu, ya? Banyak dari kita yang sudah ahli membedakan mana yang tindakan baik mana yang buruk, mana yang seharusnya dilakukan mana yang enggak. Kita tahu, tapi bahkan untuk menaatinya aja, sederet alasan menempel sehingga kita mudah saja melanggarnya.

Tentu saja, aku nggak boleh mengulangi tindakan salah itu lagi. Kalau perlu, aku harus menegur penyerobot antrean kayak di pom bensin itu. Keberanian dan kesabaran yang aku butuhkan di situ. Soalnya kadar dua hal tersebut, masing-masing belum cukup banyak. Terkadang aku perlu meyakinkan diri beberapa saat dulu untuk berani, atau dalam kadar mood yang oke supaya nggak pakai nada tinggi dalam bicara saat lagi bete.

Katanya, manusia itu tempatnya salah. But it doesn't mean, we can make the same error again. We have to learn from past. And that's how we get a maturity.
A fault exist not to make we weak. It will make we stronger than before. Even if we get many motivation from a well-known motivator, we are nothing if we can not aware of our mistake.

0 comments:

Post a Comment